Pemerintah tengah bersiap-siap untuk menghidupkan kembali kegiatan ekonomi di masyarakat pasca Covid-19 di beberapa daerah yang tingkat penyebarannya dianggap sudah terkendali. Adapun skenario tersebut dibagi menjadi beberapa fase dan direncanakan akan dimulai pada awal Juni ini dengan memperhatikan kesiapan masing-masing daerah yang artinya tidak semua daerah di Indonesia akan memasuki fase new normal secara serentak.
Skenario tersebut awalnya merupakan skenario optimis dari pemerintah dengan asumsi bahwa pada akhir Mei ini pagebluk Covid-19 sudah dapat dikendalikan, namun meskipun saat ini masih terus terjadi penambahan jumlah pasien positif sepertinya fase new normal tetap akan dilaksanakan. Fase "kehidupan normal" akan kembali dimulai dengan catatan protokol-protokol kesehatan tetap wajib dilaksanakan untuk mencegah terjadinya gelombang penularan Covid-19 yang berikutnya sembari tetap memperhatikan tingkat penyebaran Covid-19 di tengah-tengah masyarakat.
Banyak pihak yang sebenarnya meragukan skenario yang tergolong optimis tersebut, termasuk saya sendiri. Meskipun akhir-akhir ini pertambahan jumlah pasien positif kembali ke angka 400-600an perhari, kurva penularan belum dapat dikatakan menunjukkan tren menurun sehingga belum dapat dipastikan apakah tingkat penularan sudah dapat dikendalikan atau belum sehingga keputusan untuk memberlakukan new normal haruslah melalui pertimbangan yang sangat matang.
Beberapa kebijakan pemerintah yang sepertinya kurang tegas tentu akan berpengaruh terhadap penanganan Covid-19 secara keseluruhan. Anggapan ketidaktegasan kebijakan pemerintah dikhawatirkan akan menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan di lapangan dan sehingga prediksi kapan berakhirnya pandemi juga akan mengalami pergeseran. Terbukti bahwa pada akhirnya prediksi bergeser dari akhir Mei menjadi akhir Oktober.
Bagi sebagian masyarakat, pemerintah terkesan tidak tegas dalam mengeluarkan kebijakan, misalnya saja pada awalnya mudik dilarang beserta angkutan antardaerah, namun akhirnya kembali diizinkan dengan catatan melengkapi persyaratan dan hanya bagi golongan tertentu. Pembatasan secara ketat dimaksudkan agar tingkat penularan dapat segera dikendalikan, namun sektor perekonomian pasti akan terpukul. Sektor ekonomi nasional terlihat mulai mengalami pengereman seiring dengan merebaknya pandemi di tanah air. Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun ini yang hanya sebesar 2,97 persen dibandingkan periode yang sama di tahun lalu yang sebesar 5,07 persen merupakan bukti awal dampak pandemi terhadap perekonomian nasional. Nilai tukar rupiah bahkan sempat menembus level Rp 16.000 per dollar AS sebelum akhirnya kembali "normal" di level Rp 15.000an. IHSG ambruk ke level 4,000an dan belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang cukup berarti hingga saat ini.
Kuartal pertama mungkin hanya "menu pembuka" bagi perekonomian Indonesia. Kuartal kedua bisa jadi akan membawa "menu utama"karena di bulan-bulan inilah Indonesia mengalami penambahan jumlah pasien positif secara signifikan. Meskipun bertepatan dengan bulan puasa dan Lebaran yang biasanya akan meningkatkan konsumsi rumah tangga, kini pesona bulan suci tersebut seolah-olah sirna karena Covid-19 yang membawa kabar PHK besar-besaran bagi karyawan perusahaan daripada mendapatkan THR. Menteri Keuangan turut memprediksi penurunan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua yang hanya sedikit di atas 0 persen bahkan bisa masuk zona negatif mengingat turunnya tingkat konsumsi rumah tangga.
Tingkat konsumsi yang terus menurun tentu menjadi kabar buruk bagi perusahaan ritel yang sangat berharap pada berkah Ramadan-Idul Fitri yang biasanya menyumbangkan peningkatan pendapatan secara signifikan. Untuk mencapai efisiensi biaya dan bertahan hidup, perusahaan akan mengurangi jumlah karyawan (PHK). Kombinasi dari rendahnya daya beli-rendahnya pertumbuhan ekonomi-badai PHK bagaikan siklus yang tak putus-putusnya merongrong perekonomian Indonesia.
Tentunya kita harus mempersiapkan diri untuk skenario terburuk jika pandemi berlanjut ke kuartal berikutnya, yakni kuartal ketiga atau bahkan kuartal keempat, karena dapat dipastikan badai PHK akan semakin masif karena pengusaha sudah memastikan bahwa mereka hanya sanggup bertahan selama beberapa bulan di masa pandemi ini. Hal ini tentu akan kembali memicu pertumbuhan ekonomi bertahan di zona negatif, dan dipastikan resesi ekonomi menghampiri Indonesia.
Kondisi resesi ekonomi akan bertambah buruk jika berubah menjadi krisis multidimensi seperti yang terjadi pada tahun 1998 lalu. Oleh karenanya, sebagai langkah antisipasi, maka diputuskan bahwa penanganan Covid-19 harus diiringi dengan tindakan pemulihan ekonomi yang pada akhirnya kita kenal dengan istilah new normal. Pemerintah hingga saat ini memang masih mampu memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak, namun tentunya tidak akan bertahan dalam jangka panjang karena dapat membahayakan keuangan negara dan program pemerintah lainnya. Jumlah masyarakat yang terdampak juga akan terus mengalami peningkatan jika kondisi ekonomi tidak mengalami perbaikan.
Pemerintah memberikan sedikit napas bagi perekonomian dengan melonggarkan beberapa aturan pembatasan seperti penyelenggaraan jasa transportasi, pelonggaran PSBB yang diikuti dengan fase new normal untuk daerah-daerah yang tingkat penularannya sudah terkendali, hingga mengizinkan penduduk di bawah 45 tahun untuk kembali bekerja. Banggar DPR sempat mengusulkan untuk mencetak uang sebesar Rp 600 triliun dalam rangka penanggulangan pandemi sepertinya belum akan dituruti pemerintah karena dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadinya hiperinflasi seperti yang pernah melanda Zimbabwe.