Oleh: Wayan Jengki Sunarta
Halaman Gajah Mas Gallery yang berlokasi di Ubud, sore tanggal 19 Juni 2021 tampak berbeda. Di depan pintu masuk galeri berdiri anggun menara yang disusun dari es balok. Menara es dengan tinggi 5 meter dan lebar 2,5 meter itu adalah seni instalasi karya Ketut Putrayasa berjudul "Ubud is Winter - 10 Degree Celcius". Selain disusun dari es balok, menara diperkuat dengan bata tanah liat.
Penari dan koreografer asal Jepang, Jasmine Okubo, dengan lincah dan gemulai merespon menara es itu. Dia menggeliat-geliatkan tubuh rampingnya di sekitaran menara es. Terasa kegelisahan dan keresahan dalam gerak tarinya. Dan, ketika senja merambat ke arah malam, menara tampak makin anggun sekaligus misterius di bawah siraman cahaya biru yang memancar dari lampu sorot.
Seiring perjalanan waktu, menara es itu meleleh perlahan. Lumpur yang berasal dari bata tanah liat juga ikut meleleh, menyeruak dari celah-celah balok es. Menjelang tengah malam terdengar bunyi gemuruh yang cukup mengejutkan. Menara es itu ambruk, rubuh, patah, hancur. Perubahan pun terjadi, yang padat dan beku mencair, mengalir mengikuti aliran waktu dan hukum kosmis.
Putrayasa menampilkan menara es itu sebagai simbol atas ruang dan waktu dan juga sindiran terhadap kebekuan kreativitas seni rupa di kawasan Ubud setelah masa keemasan Pita Maha. Karya instalasi itu juga merupakan respon terhadap tema pameran kelompok MilitanArt "IN -- Between" yang digelar hingga 19 Juli 2021.
Sindiran Putrayasa terhadap kebekuan kreativitas seni rupa di Ubud mungkin ada benarnya. Sebab selama ini memang nyaris belum ada gerakan seni rupa fenomenal dan monumental di Ubud selain pameran-pameran ala kadarnya demi kepentingan pariwisata. Selama ini, terutama sebelum pandemi melanda dunia, Ubud memang cenderung dikenal sebagai salah satu pusat pariwisata yang ramai. Hal itu berdampak pada menjamurnya artshop dan galeri seni komersil. Dan, tak dapat dipungkiri, Ubud sejak lama memang telah menjadi salah satu tempat jual-beli karya seni rupa.
Pita Maha harus diakui telah melakukan gebrakan besar untuk seni rupa di Ubud dan Bali pada umumnya. Kelompok seni rupa itu digagas dan didirikan pada tahun 1936 oleh Rudolf Bonnet, Walter Spies, Tjok. Gde Agung Sukawati, dan I Gusti Nyoman Lempad. Dalam kurun waktu enam tahun, Pita Maha telah beranggotakan 150-an pelukis dan pematung yang berasal dari berbagai daerah di Ubud, termasuk Sanur dan Denpasar.
Kehadiran Pita Maha merupakan gerakan awal Ubud merambah pola pikir modern dalam praktik seni rupa. Tidak hanya bersentuhan dengan bahan dan alat lukis modern, namun juga mengembangkan gagasan dan tematik karya menuju corak yang sifatnya lebih individual. Meski melukis tematik pewayangan dan kehidupan sehari-hari, karakteristik individual terasa pada karya-karya mereka.
Bonnet adalah salah satu mentor yang selalu menekankan kebebasan individual dalam berkarya dan mentabukan contek-mencontek karya. Seniman-seniman Pita Maha diarahkan menjelajahi tema-tema dan subjek-subjek baru dalam karya-karyanya, terutama yang bersifat sekuler. Kebebasan ekspresi dan interpretasi pribadi sangat ditekankan dalam Pita Maha.
Secara umum, karya-karya yang diciptakan para anggota Pita Maha saat itu tidak bisa lagi dibilang sebagai karya seni tradisi sebab telah melampaui karakteristik tradisi yang dilandasi pakem-pakem tertentu. Gerakan Pita Maha pada perkembangannya kemudian melahirkan gaya-gaya baru dalam seni rupa di Bali, seperti gaya Ubud, Pengosekan, Batuan, Sanur, Keliki.
Namun, setelah gerakan Pita Maha melemah, kreativitas seni rupa di Ubud seolah mengalami kebekuan. Kehadiran gerakan Young Artist di Desa Penestanan yang digagas Arie Smit pada tahun 1960 sempat melumerkan kebekuan itu. Mungkin karena gerakan itu dimentori satu orang, membuat karya-karya anggota Young Artist cenderung seragam dan menjadi aliran tersendiri.