Bekerja di lembaga pendidikan membuat saya,secara tidak langsung, melihat dan mengingat (bukan mengamati, karena sayabukan pengamat) kehidupan remaja. Dulu, di tahun-tahun awal masuk, para siswadengan mudah diatur. Berbeda dengan sekarang. Kondisi para siswa sekarang tentulebih kontras dengan ketika saya sekolah dahulu.
Dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya,seperti yang berjudul "Mengapa Kehidupan Kaum Muda Menjadi Cair," menyorotipengaruh teknologi media terhadap kehidupan. Termasuk tulisan-tulisan tentangliquid modernity, modernitas yang cair, juga menyoroti pengaruh teknologi mediaterhadap kehidupan.
Kali ini saya mencoba menghubungkan antaraperilaku guru dengan perilaku siswanya. Apakah berhubungan? Tentu sajaberhubungan. 3 tahun, di jenjang SMP dan SMA, atau 6 tahun di jenjang SD, bukanwaktu yang pendek untuk sekedar meniru, atau "menginspirasi" perilaku.
Orang Jawa memaknai kata guru sebagai"digugu lan ditiru," dipercaya dan ditiru. Artinya, guru kemungkinan besar akanmenjadi figure panutan. Kecuali guru yang dibenci siswanya. Hal ini terjadikarena siswa belajar di sekolah selama 8 jam perhari, lima hari seminggu. Ataupada rentang 35 sampai 40 jam per minggu. Belum termasuk interaksi diluar jambelajar. Misalnya dalam kegiatan ekstrakurikuler atau dalam kepanitiaankegiatan sekolah. Juga dalam interaksi online ketika mengumpulkan tugas di luarjam belajar.
Angka ini memang bukan angka terbesar,yaitu interaksi dalam keluarga. Namun bisa dibandingkan dengan interaksilainnya, yaitu interaksi dengan teman di lingkungannya. (Teman se-RT, temanse-dusun, teman se-blok.) Interaksi dengan teman di lingkungan, maksimal 30 jamper minggu. Angka ini mungkin tercapai jika ada banyak libur dalam satu minggu.Artinya pergaulan di sekolah memiliki pengaruh besar, termasuk interaksi denganguru.
Interaksi dengan guru tak harus berupainteraksi langsung. Misalnya ketika guru mengajar di kelas, baik online mau punoffline. Bisa juga interaksi tidak langsung. Misalnya mendengar cerita seorangguru yang marah karena kelas belum tertata ketika mau pelajaran. Memanginteraksi tidak langsung ini pengaruhnya lebih kecil dari interaksi langsung.Tapi jika cerita keburukan guru terus berulang, baik secara serius maupun dalamobrolan humor, akan membekas juga. Bahwa ternyata guru yang ini senang marahjika kelas belum tertata. Dan cerita-cerita ini mungkin akan ditiru olehsiswanya. Jika guruku tak mau menyapu, hanya bisa memerintah pak pelaksanauntuk menyapu kelas, mengapa juga aku (siswa) harus menyapu kelas. Mengapasiswa tidak bisa memerintah pak pelaksana.
Memang, guru saat ini beban kerjanyatinggi. Bukan hanya mengajar semata. Juga soal administrasi, yang coba diuraioleh Mas Menteri Pendidikan. Belum lagi tugas tambahan dari internal sekolah.Selain itu, guru juga dituntut untuk mengikuti perkembangan metode pendidikan.Ini merupakan bagian dari tugas seorang guru sebagai pendidik dan pengajar.(Bandingkan dengan dosen, yang menjadi pengajar dan peneliti. Dosen tidakmengurusi perkembangan perilaku mahasiswanya.)
Jadi, sesibuk apa pun seorang guru, tetapharus diusahakan agar ia bisa dipercaya oleh siswanya, bisa membuat profesiyang digelutinya menjadi sesuatu yang berwibawa, dan perilakunya bisa menjadiacuan bagi siswanya.
Tentu menjadi ironi, ketika seorang guruyang getol menggeluti teori-teori pendidikan, memperlihatkan kemarahannyakepada tenaga pelaksana hanya karena ruang untuk belajar tidak siap. Dan ceritaitu sampai kepada siswanya. Lebih parah lagi jika ada siswa yang mendengar,dari seberang tembok, luapan kemarahan itu. Terlebih lagi jika siswa melihatsendiri peristiwa itu. Kalau ini terjadi, lantas apa makna teori-teoripendidikan yang canggih-canggih itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H