Lihat ke Halaman Asli

wawan s

Belajar menulis

Mereka Mati demi Konten

Diperbarui: 10 Oktober 2021   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari Rabu, awal bulan Oktober ini, seorang anak ditemukan tewas tertabrak truk di Jalan Diponegoro, Bekasi. Kasus tewas tertabrak truk demi konten, bukanlah baru sekali itu terjadi. Bulan Maret terjadi di Tangerang,  bulan Juli terjadi di Bekasi.

Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, di luar negeri juga ada. Bulan Februari, di Boston, seorang gadis remaja tewas tertembak di kepala saat akan berselfi bersama teman-temannya.

Ini menjadi puncak ironi kehidupan saat ini. Media sosial adalah alat yang semula digunakan untuk berkomunikasi. Fungsi ini mengalami perluasan, media sosial menjadi alat untuk melakukan rekayasa sosial, sebut saja pencitraan, sehingga statusnya kelihatan lebih baik dari apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam hirarki kebutuhan hidup, rasa aman dari ancaman kematian ada pada urutan pertama. Ini merupakan isnting hewani yang telah berevolusi selama ratusan ribu tahun. Setelah itu, baru ada kebutuhan dasar, kebutuhan untuk menunjang kehidupan tersebut. Maka manusia, dan juga hewan, tidak akan makan makanan yang mereka kenali sebagai sesuatu yang beracun.

Lumba-lumba tidak akan mengunyah habis dan menelan ikan buntal, karena jika ikan buntal tertelan, hidup lumba-lumba tersebut akan terancam. Ini merupakan mekanisme yang normal.

Namun karena godaan yang kuat, maka urutan dalam hirarki kebutuhan ini bisa tertata ulang. Dorongan ini bisa terjadi sekali, tapi kuat sekali, atau bisa juga dalam kurun lama, lambat tapi terus menerus. Mungkin bisa diistilahkan bahwa dorongan ini sampai mendarah daging.

Anak, yang sejak kecil terekspos oleh media sosial, lama kelamaan akan memiliki pemahaman bahwa memiliki akun media sosial adalah keharusan. Mereka akan mengalami kesulitan untuk memahami perbedaan hakiki dari dunia nyata dengan dunia maya, karena pengalaman antara dua dunia tersebut tak jauh beda.

Ketika teman-temannya di media sosial mendapatkan banyak apresiasi karena statusnya, anak ini juga ingin memiliki status yang mendapat apresiasi, status yang dinyatakan keren, atau pemberani. Dan ada saat dimana status yang keren itu rasanya harus segera dibuat, dengan segala konsekuensinya.

Maka mereka pun melakukan aksi yang membahayakan. Menghentikan truk yang tengah melaju, merekam kereta yang melaju cepat dalam jarak yang sangat dekat, melemparkan sesuatu kepada kendaraan yang melaju di jalan tol, berselfi di tepian jurang dan seterusnya. Semakin langka  sebuah pose, akan dinilai semakin keren dan semakin banyak mendapat jempol. Bagi mereka, pada momen tersebut, hidup adalah nomer dua.

Ironi ini seakan bisa digambarkan oleh kalimat yang terungkap dalam sebuah film lama: lebih baik mati keren, dari pada hidup tapi tidak keren.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline