Beberapa dari kita pasti pernah mengatakan atau mendengar, ketika memberi atau bertanya petunjuk jalan ke suatu tempat ; "ikut jalan ini. Lurus". Dan terkadang kita mengucapkan atau mendengarkannya dengan spontan, tanpa sadar bahwa di depan sana jalan mungkin saja bercabang.
Menariknya, agama demikian pula, terkadang.
Kita sering mendengar akhir-akhir ini beberapa pihak umat Islam dengan nyaring dan lantang bersuara ; "kita harus ikut jalan al-Qur'an dan Sunnah yang sahih", "kita harus ikut jalan (manhaj) salaf yang salih", dan yang semacamnya. Sambil berkata demikian, mereka merasa merekalah yang paling tepat berada di jalan al-Qur'an dan Sunnah atau jalan salaf yang salih itu dan menafikan adanya kebenaran dari pihak lain, seakan “banyak jalan menuju Roma” mustahil berlaku dalam perkara semacam ini.
Seperti seorang kawan yang, dalam suatu diskusi, karena penulis kurang bersepakat dengannya dalam suatu pendapat, mempertanyakan apakah penulis telah membaca sebelumnya teks yang sedang didiskusikan. Secara berkelakar, tapi “agak” serius, penulis jawab ; “saya sudah membaca. Tapi akal kita tak sama”. Dan, begitulah memang kenyataannya. Nalar kita tidak satu, nalar “alamiah” maupun nalar “bentukan”. Akhirnya, beragam kemungkinan tafsir suatu teks menjadi niscaya dan tidak dapat dihindari.
Salah satu sebab beragamnya kemungkinan itu adalah bahasa. Kalau coba pembaca buka kitab-kitab tafsir dan syarah hadits, pasti akan pembaca dapatkan betapa banyak perbedaan tafsir suatu ayat atau hadits yang faktornya adalah bahasa. Dan, perbedaan tafsir adalah beragam kemungkinan. Setiap tafsir mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah, persis “ramalan” si gurita Paul akan nasib pasukan Der Panzer.
Penulis coba sebutkan untuk pembaca suatu contoh mengenai hal ini. Contoh yang akan dikemukakan ini pernah membuat penulis tersenyum kagum akan betapa, meminjam istilah seorang kawan, “pintarnya” para ulama’ kita dahulu dalam membaca suatu teks dan berkelit dari “tekanan” pendapat yang berlawanan. Contoh berikut ini penulis comot dari kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid (Awal Seorang Mujtahid dan Akhir Seorang yang Sedang-Sedang)-nya al-Imam ibn Rusyd sang failasuf.
Terdapat dua hadits mengenai ketentuan zakat domba. Hadits pertama berbunyi “fiy arba’iyna syaatan syaatun” (domba empat puluh wajib dizakati dengan satu domba). Hadits kedua adalah “fiy saa-imatil ghonami az-zakaatu”(domba yang digembala wajib dizakati). Apakah yang tidak digembala, seperti banyak ditemukan di negri kita, tidak wajib dizakati?
Tidak wajib, kata sebagian ulama’. Argumennya, kemutlakan hadits pertama telah dibatasi (muqayyad) dengan hadits kedua. Dalam kata lain, domba, dalam hadits pertama yang bersifat menyeluruh tanpa kecuali, kini telah dibatasi cakupannya dengan sifat “yang digembala” dengan hadits kedua. Secara ushul fiqh, hal ini min bab hamlil muthlaq ‘alal muqayyad (membatasi yang mutlak dengan yang terikat).
Tapi, kata ulama’ yang lain, sama-sama wajib dizakati, digembala maupun tidak. Mereka mengakui bahwa hadits pertama bersifat umum tanpa kecuali. Akan tetapi, bagi mereka, pernyataan “yang tidak digembala tidak wajib dizakati” adalah “pemahaman sebaliknya” (mafhum mukhalafah) dari hadits kedua. Dan, secara ushul fiqh, “pemahaman sebaliknya” akan “kalah” jika “diadu” dengan sifat umum suatu teks.
Jangan lupa, contoh ini baru dari kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Bagaimana halnya jika dicari contoh dari Bidayatul Muqtashid Wa Nihayatul Mujtahid yang belum muncul seorangpun yang menulisnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H