Lihat ke Halaman Asli

Mutasi Ala “Amputasi”

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mutasi, kata ini kemudian akrab ditelinga kita paska pelantikan kepala daerah baru. Bergai sebutan disandingkan dengan kata mutasi. Ada yang menyebutnya mutasi gelombang satu, dua dan seterusnya, ada juga yang mempopulerkannya dengan istilah Mutasi jilid satu, dua dan seterusnya. Namun apappun penyebutannya hal ini tak jauh dari politik sapu bersih loyalis penguasa sebelumnya.

Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) yang secara jelas dan tegas diatur dalam peraturan perundang undangan untuk berada dititik netral, mau tidak mau harus bermanuveruntuk menyelamatkan kursi empuk atau tak jarang malah berebut pengaruh dihadapan para kandidat, dengan harapan ketika sang calon menjadi pemimpin suatu saat dia akan mendapat posisi strategis sebagai balas jasa.

Tidak heran kemudian masa-masa pemilu kada adalah masa tidak nyaman dan was-was dalam bekerja. Hiruk pikuk dan intrik politik para calon kepala daerah dan tim suksesnya, besar kecilnya mempengaruhi suasana kerja Pegawai Negeri Sipil ditingkat Daerah. Isu dan desas desus kabinet bayangan, pejabat yang akan dilengser dan calon penggantinya menjadi topik yang paling menarik didiskusikan diantara mereka.

Beberapa saat paska pelantikan, lazim adanya pergeseran besar-besaran ditataran birokrasi dengan alasan penyegaran. Aksi sapu bersih gerbong mantan pemimpin sebelumnya menjadi pemandangan biasa di media media lokal usai penguasa baru dilantik. Dari sudut pandangTim sukses mereka beralibi bahwa menjadi bawahan haruslah orang-orang yang loyal terhadap pimpinan dan tidak punya tendensi akan melawan kebijakan. Maka diadakanlah mutasi dijajaran birokrasi sebelum sang peimpin baru menjalankan program kerja. Proses inilah kemudian yang membuat karir seorang pegawai negeri sipil bisa meroket tajam, atau bahkan merosot drastis. Beberapa contoh kasus misalnya seorang kepala dinas dengan alasanpenyegaran kemudian kehilangan jabatan dan menjadi staf dikantor yang pernah dipimpinnya. Sebaliknya seorang guru sekolah dasar tiba-tiba dipromosi menduduki jabatan strategis dipemerintahan setara kepala bagian

MutasiTahap pertama biasanya dilakukan tak lama setelah pelantikan pemimpin baru. Hal ini membuat irama pelayanan publik sangat terganggu. Betapa tidak, pegawai yang belum mendapat giliran mutasi, terombang ambing dengan segala ketidak pastian, cenderung tidak fokus melaksanakan kewajibanya sebagai abdi negara. Harap-harap cemas itulah mungkin gambaran perasaan para pegawai yang berharap untuk menduduki posisi tertentu dan cemas untuk kehilangan kursi jabatan. Pejabat yang tidak digeser pada mutasi awal belum bisa bernapas lega sebab biasanya mutasi jilid berikutnya akan membawa kabar buruk buat mereka. Tidak pandang bahwa sang pejabat memiliki kapasitas dan kredibilitas diposisi yang ditempatinya saat ini.

Idealnya PegawaiNegeri sipil tidak diseret-seret atau sengaja menyeret diri dalam ranah politik praktis dalam rangka pemilihan kepala daerah. Selain itu PNSD juga tetap menjaga netralitas dan tidak terprovokasi untuk terjun langsung dalam politik praktis. agar pelayanan publik selalu stabil,bekerja lebih tenang dan tetap professional.

Mutasi harusnya disandingkan dengan kata amputasi untuk menyebut perombakan kabinet di daerah. Sebab dalam prakteknya mutasi para pejabat dilingkup pemerintahan daerah tak jauh berbeda dengan definisi kata amputasi. Seolah memotong bagian tubuh yang terkena kangker ganas agar tidak menyebar keseluruh tubuh. Tak ada studi kepatutan, kecakapan, kepantasan, kapasitas dan profesionalitas. Pertimbangan yang menjadi kriteria utama adalah kedekatan, kekerabatan, loyalitas dan balas budi.

Ironis memang mimpi akan daerah yang maju disegala dimensi yang menjadi lagu-lagu kampanye para pemimpin sebelum berkuasa makin sumbangterdengar.

Perombakan Kabinet ala daerah, Mutasi ala Amputasi menjadi ajang menancapan kuku kekuasaan “raja-raja” kecil di daerah menuju pengamanan kebijakan dan merintis jalan menuju periode kedua masa jabatan.

Wawan H. Rasipu (9 September 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline