Lihat ke Halaman Asli

Diaspora Etnik Jawa dan Transmisi Antargenerasi Bahasa Jawa di Sumatra Utara

Diperbarui: 22 November 2016   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Eksodus etnik Jawa ke Sumatra Utara dipilah menjadi empat gelombang. Gelombang pertama, pada saat jaman Majapahit melakukan invasi ke kerajaan Haru. Banyak orang Jawa yang menetap di Sumatra Utara; Gelombang kedua, pada jaman Hindia Belanda melakukan kolonialisasi. Etnik Jawa direkrut dengan paksa oleh Belanda untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak di kebun-kebun Belanda di Sumatra Utara dengan jumlah yang cukup besar; Gelombang ke tiga, pada jaman orde baru melalui program transmigrasi; dan gelombang keempat, pada jaman sekarang melalui migrasi, perdagangan, bisnis, tugas belajar, tugas kerja, dan lain-lain. Namun,  Mobilisasi etnik Jawa ke Sumatra Utara dengan jumlah yang cukup besar adalah pada gelombang kedua, yaitu pada jaman kolonial Hindia Belanda. Sampai dengan saat ini eksistensi etnik Jawa di Sumatra Utara masih kentara. Menurut Siyo (2008) etnik Jawa yang masih menetap di Sumatra Utara disebut Jawa-Deli (Jadel) dan keturunannya sekarang disebut Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera).

Bruner (1974) dalam Suparlan (1999) yang mengatakan bahwa orang Jawa yang merupakan golongan etnik mayoritas di Medan bukanlah kelompok dominan, karena mereka ini golongan kelas sosial rendah yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini tentunya berimbas pada lemahnya pemertahanan budaya dan bahasa Jawa di Sumatra Utara. Dalam hal berbahasa misalnya, mereka tidak dominan menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi antaranggotanya. Mereka justru memilih menggunaan bahasa Indonesia dengan logat Medannya. Tidak sedikit etnik jawa yang adaptatif, lebur bersama budaya Melayu di Sumatra Utara meninggalkan budaya dan bahasa Jawanya. Biasanya mereka itu minoritas yang tinggal dikantong-kantong budaya dan bahasa Melayu yang dominan. Contoh, di daerah pesisir Asahan.

Hal lain yang mendorong etnik Jawa melebur bersama budaya Melayu adalah sifat flesibitas dan keterbukaan budaya dan etnik Melayu itu sendiri. Dari dulu etnik Melayu bersifat terbuka terhadap etnik lain. Mereka cukup berpengalaman beradaptasi dengan budaya luar karena pesisir timur merupakan jalur dan pintu gerbang perniagaan dan perdagangan dari dulu. Ada slogam budaya Melayu yang menarik, yaitu Dunia Melayu adalah Dunia Islam. Slogan ini mengandung arti bahwa bagi mereka yang memeluk agama islam bisa dikatakan Melayu. Etnik Jawa yang islam merasa nyaman dengan slogan budaya Melayu tersebut. Mereka merasa bagian dari Melayu. Bahasa Jawa tidak  dijadikan dasar kontruksi identitas etnik Jawa. Fought (2006) yang telah membahas bahasa dan kontruksi identitas etnik setidaknya dapat dijadikan acuan dasar.

Rahardjo (2015) mengatakan bahwa sedikitnya ada tiga pihak yang terlibat dalam arus pertukaran budaya dalam perspektif diaspora. Pertama, pelakunya sendiri; Kedua, tempat baru yang dituju; dan ketiga, generasi penerusnya. Konsep ini mengandung implikasi bahwa acuan terhadap budaya asal di tempat baru masih tetap relevan, walau besar kemungkinan secara terus menerus diproses dan berubah sesuai dinamika yang terjadi di tempat baru.

Jumlah etnik Jawa yang tinggal di wilayah Sumatra Utara cukup banyak.  Hal ini dapat dilihat dari komposisi jumlah penduduk kota Medan berdasarkan etnikitasnya pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Komposisi Etnik Kota Medan pada 2000

Komposisi Etnik Kota Medan pada 2000

Etnik

Tahun 2000

Jawa

33,03%

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline