Tak Terasa Air Mataku Menetes
Teriknya panas mentari siang itu terasa membakar kulit, panasnya tembus kedaging dan tulangku, namun keadaan itu tak menyurutkan niatku dan anak muda yang lain untuk terus membongkar segala bentuk tirani dan ketidakadilan.
Semua aku tak pedulikan, aku terus saja terobos banyaknya lautan manusia, bersama kawan-kawan lainnya, sambil menerikan yel-yel yang terus membakar semangat mereka.
Disaat ketidakadilan, ketimpangan, carut marut hukum dan berbagai situasi yang begitu berada dalam titik yang sangat mengkhawatirkan dan memalukan,
Kondisi ini membuat aku dan kawan-kawan turun kejalan untuk menyuarakan segala penyimpangan itu.
aku satukan visi misi untuk merubah situasi yang tak manusiawi dan kami anggap tak adil, begitu pekikan dari koordinator lapangan, ayo maju kawan-kawan, kita lakukan aksi hari ini bukan untuk apa-apa.
aksi kita bukan untuk anarkis, bukan untuk menjadi pengacau tapi kami hadir disini hanya untuk menyampaikan segala kegelisahan yang kami alami, sebagai Masyarakat.
jadi aksi ini murni "Gerakan Nurani" dengan serentak semua pasukan bergerak menuju gedung parlemen.
Seribu orang terus merangseg menuju gedung parlemen sambil mengumandangkan dan sesekali bernyanyi, "rakyat miskin kota", rebut demokrasi, nyanyian itu terus saja mengalir dari mulut-mulut yang haus akan keadilan.
Semakin hari aku semakin muak dengan dagelan-dagelan yang ada, kacau balau hampir melanda setiap sendi kehidupan, begitu keadaan dinegeri Konoha.
Disaat kebenaran dan hati nurani tak lagi menjadi pegagan orang-orang, Bagai hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang berkuasa, atau siapa yang berkausa dialah yang kuat, segala macam aturan tak lagi menjadi pegangan, karena keberadaannya hanya untuk menjadi penghias belaka. Hanya pelengkap.