Dalam beberapa ramalan tentang petani, sebagian besar menjelaskan bila kelak menjadi petani bukan lagi sebuah pilihan. Barangkali proses petani tidak seutuhnya menghilang, beberapa malah meramalkan jika petani akan tetap ada. Hanya saja jumlah petani akan semakin berkurang. Data dari Bureau of Labor Statistics di Amerika Serikat, mengungkap jika jumlah orang yang bekerja sebagai petani akan berkurang lantaran dua hal: pertama akibat teknologi yang memudahkan bercocok tanam. Dan yang kedua, anak muda lebih memilih berprofesi di bidang lain yang lebih menjanjikan.
Sementara, The Food and Agriculture Organisation dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan sebuah laporan di tahun 2009 yang menyarankan bahwa pada tahun 2050 produksi pertanian harus naik 70% untuk memenuhi permintaan yang diproyeksikan. Bila belajar dari buku yang berjudul, It's Alive!: Artificial Intelligence from the Logic Piano to Killer Robots menjelaskan ramalan kehidupan kita yang dipenuhi oleh kekuatan teknologi di berbagai bidang. Penulis buku itu, Toby Walsh yang merupakan seorang profesor kecerdasan buatan di Universitas New South Wales, Australia memberikan gambaran yang mengerikan tentang masa depan. Bahkan di bidang pertanian pun, semua akan dikendalikan oleh robot.
Di Inggris sendiri, dibentuk sebuah proyek Hands Free Hectare di mana para insinyur mencoba mengeloah lahan dari awal hingga akhir tanpa perlu campuran tangan manusia. Di satu sisi, ini memperlihatkan kemajuan untuk berkembangnya teknologi dalam bidang pertanian. Tapi di sisi lain, temuan seperti ini semakin mendekatkan kebenaran ramalan akan hilangnya profesi petani di masa depan. Kemajuan teknologi menawarkan ketahanan pangan tapi berdampak pada tenaga kerja. Bagaimana dengan Indonesia sendiri?
Sensus Pertanian 2013 lalu, yang menunjukkan tren penurunan jumlah petani, yaitu dari 31,7 juta rumah tangga (RT) petani turun pada 2003, menjadi 26,13 juta RT (2013), atau penurunan sekitar 5,04 juta RT (1,75%). Hasil sensus ini juga menunjukkan bahwa rumah tangga petani rata-rata hanya menguasai 0,89 hektar dan khusus untuk sawah rata-rata cuma 0,39 hektar. Penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari 40,61 juta orang di tahun 2004 menjadi 39,96 juta orang pada 2013. Selain jumlah petani yang berkurang, lahan pertanian pun tampaknya menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan, selama tahun 1983-1993, sekitar 935.000 hektar lahan pertanian hilang. Dari jumlah ini, 425 hektar di antaranya adalah lahan sawah dan 510.000 lainnya bukan sawah. Bila dirata-rata, maka konversi lahan per tahun sekitar 40.000 hektar.
Menghadapi masalah tersebut, sudah sepantasnya kita memikirkan langkah yang tepat untuk dapat terbebas dari kemelut tersebut. Kita telah melihat berbagai ramalan serta kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Mari kita belajar dari Thomas Robert Malthus yang juga memberikan prediksi melalui karyanya An Essay on the Princilple of Population, dia memprediksi bahwa kelak, akan ada laju pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, dst) tidak akan bisa diimbangi oleh laju penyediaan pangan yang mengikuti deret hitung (1, 2, 3, 4, dst). Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan bencana kelaparan yang luar biasa. Indonesia pun tak lepas dari bencana serupa.
Maka, sebagai langkah untuk melawan berbagai ramalan yang ada, amat dibutuhkan proses regenerasi petani di Indonesia.
Anak Muda dan Petani
Di daerah saya, empat jam dari kota Makassar, Sulawesi Selatan, saya masih punya beberapa teman dengan usia muda yang memilih menjadi petani cengkeh. Dengan hasil panen cengkeh yang dia dapatkan, motor idaman yang dia impikan terbeli disertai kebutuhan lainnya. Penghasilannya sebagai seorang petani cengkeh tak boleh diremehkan. Situasi ini membuatnya betah dan memilih menjadi seorang petani cengkeh. Berbeda lagi dengan kawan saya yang memilih pindah ke kota mencari kerja di kantoran, sawahnya telah dijual demi membiayai pendidikannya. Berbeda dengan kawan saya sebelumnya, dia merasa jika sawah atau menjadi petani tak akan memberi harapan yang lebih baik dibanding bekerja di sebuah kantor perusahaan swasta atau pilihan lain di kota.
Di usia muda mereka, tentu pilihan akan terbentang dan sebagaimana manusia pada umumnya, mereka cenderung memilih kepastian dan melihat peluang yang lebih besar. Dalam hal ini, saya yakin jika petani atau sektor pertanian mampu memperlihatkan kemungkinan yang lebih menjanjikan, maka pilihan untuk menjadi petani bukan tidak mungkin akan lebih besar dan berkembang.
Selanjutnya, butuh ruang khusus untuk membekali para petani dalam memanfaatkan kondisi yang ada. Teknologi misalnya. Tak dapat dipungkiri modernisasi pertanian di era Revolusi Industri 4.0 telah membentang dan butuh keterampilan khusus untuk memahami atau beradaptasi dengan hal tersebut. Sejak dini, anak-anak butuh diajarkan dan diperlihatkan betapa keberadaan petani sangat penting dalam kehidupan kita hari ini. Adanya anggapan bahwa menjadi petani adalah pekerjaan yang tak lebih baik dibandingkan bekerja di kantor, menjadi salah satu akibat dari kurangnya ruang untuk memperlihatkan peran para petani.
Iksan Skuter menciptakan sebuah lagu yang sekiranya patut untuk diperdengarkan untuk semua orang, lagu yang dinyanyikan bersama anak-anak ini menyimpan pesan untuk menghargai para petani. Secara dini, kita pun dapat menanamkan langkah untuk melakukan regenerasi petani melalui medium sebuah lagu.