Lihat ke Halaman Asli

Wawan Kurn

Belajar Menulis, Senang Membaca, Hobi Memancing. Dapat dikunjungi di www.wawankurn.com

Seorang Psikolog dan Sebuah Novel

Diperbarui: 25 Agustus 2016   10:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: creativeuc.net

Hari itu saya membaca karya Haruki Murakami, “The Wind-Up Bird Chronicle” dan salah seorang dosen datang menghampiriku. “Baca buku apa Wan?” belum sempat saya menjawab, ia kembali berkomentar “Wah, novel? Saya tidak suka baca novel.” Saya tersenyum saja dan melanjutkan membaca buku itu. Itu bukan kali pertama saya mendengar pernyataan serupa. Teman saya sendiri pun mengatakan hal yang tak jauh beda dengan dosen saya itu. Ia mengaku bahwa tak penting untuk membaca novel.

Saya tidak akan memasang data statistik tentang bagaimana perilaku orang Indonesia akan aktivitas membaca. Sudah sangat sering kita mendengar jikalau bangsa ini dikenal dengan minat baca yang rendah. Barangkali beberapa pernyataan dari teman dan dosen saya menjadi bagian dari data statistik itu. Di kampus sekali pun, masih sulit melihat pemandangan yang semestinya. Melihat para pelaku akademik membaca, berdiskusi dan memberikan rekomendasi buku bacaan yang menarik. Kadang kala mereka hanya terfokus pada teori dalam kelas. Teman-teman psikologi saya sendiri, ada banyak yang enggan membaca novel dengan alasan banyaknya teori kepribadian yang lebih penting untuk dibaca. Lebih baik menghafal sederet teori dari Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Skinner, Abraham Maslow, dan sejumlah teori dari tokoh psikologi lainnya.

Padahal jika mereka membaca biografi para tokoh psikologi itu secara lebih mendalam, kita akan menemukan satu kebiasaan yang kadang diabaikan di kelas. Bahwa mereka, para penemu teori besar dari psikologi adalah para pembaca fiksi yang luar biasa. Bahkan seorang B.J Habibie pun, mengaku senang membaca karya-karya Fyodor Dostoyevsky. Pada kesempatan lain, Neil Geiman memiliki pengalaman menarik tentang bacaan fiksi yang dijelaskan dalam kuliahnya di the reading agency di London. Neil Geiman menjelaskan pengalamannya di tahun 2007 saat mengikuti sebuah kegiatan di Cina. Kegiatan itu berupa konferensi fiksi ilmiah dan fantasi yang pertama kalinya dilakukan sepanjang sejarah peradaban Cina.

Neil Geiman pun bertanya, mengapa kegiatan ini mesti dilakukan? Jawaban yang diterimanya menarik. Cina adalah negara yang mampu menciptakan sesuatu asalkan rancangan benda atau produk tersebut ada. Namun Cina, sulit menciptakan sesuatu yang brilian dan berinovasi. Mereka hanya meniru dan menciptakan apa yang telah ada sebelumnya. Akhirnya Cina mengutus delegasi mereka ke sejumlah perusahaan seperti Apple, Microsoft, dan Google. Pada akhirnya mereka menemukan setelah mengkaji secara mendalam bahwa sejumlah penemuan itu dipengaruhi oleh bacaan fiksi semasa mereka kanak-kanak. Sebab fiksi adalah ruang yang memberikan kesempatan pembaca untuk menemukan dunia lain yang berbeda. Selain itu bagi Neil Geiman, membaca fiksi adalah escapism. Membaca fiksi dapat menjadi sebuah pelarian bagi pembaca. Seperti itulah cerita dari Neil Geiman.  

Saya rasa bangsa Indonesia pun butuh menciptakan kesadaran yang sama dengan Cina. Bagaimana pun membaca adalah masalah yang kurang diperhatikan di bangsa ini. Padahal perilaku membaca mampu memberikan banyak efek pada perkembangan kehidupan. Apalagi membaca bacaan fiksi. Saya berharap tidak banyak komentar miring tentang membaca novel atau bacaan fiksi lainnya. Tapi faktanya, saya sulit menemukan orang yang masih bersedia meluangkan waktunya untuk membaca lebih banyak buku. Padahal, seorang pakar psikologi kognitif bernama Keith Oatley dari  University of Toronto menjelaskan hasil dari penelitiannya bahwa bacaan fiksi dapat meningkatkan empati seseorang dan mengembangkan Theory of Mind. Oatley mengatakan bahwa, “Ketika kita membaca tentang orang lain, kita bisa membayangkan diri kita berada pada posisi mereka. Itu memungkinkan kita untuk lebih memahami orang lain."

Sejujurnya saya merasa kecewa melihat seorang calon psikolog dan dosen yang notabene wajib lebih peka dan berempati terhadap kehidupan menolak menerima kemungkinan-kemungkinan dari sebuah bacaan. Atau barangkali ia tidak punya waktu lantaran sibuk dengan sejumlah proyek yang lebih menghasilkan banyak uang dan banyak kepastian. Membaca tak dianggap sebagai kemewahan yang sangat dibutuhkan perasaan dan pikiran. Tak ada waktu untuk membaca lantaran dianggap tidak penting. Baiklah, saya tutup tulisan ini dengan mengutip salah satu pesan dari buku yang saya baca waktu itu. “Spend your money on the things money can buy. Spend your time on the things money can’t buy.” Dengan membaca novel, ada banyak hal yang kita dapatkan bahkan sesuatu yang tak dapat didapatkan dengan uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline