Performa kinerja seseorang dalam suatu lingkungan lembaga atau organisasi merupakan suatu faktor krusial yang bisa mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan organisasi tersebut. Perbedaan pencapaian target, metode kerja, ataupun pengakuan atas prestasi seringkali menjadi pemicu utama terjadinya konflik tersebut baik secara individu maupun kelompok. Konflik semacam ini tidak hanya berdampak pada hubungan antar personal, namun juga dapat menghambat produktivitas dan mengganggu iklim kerja yang kondusif.
Tekanan mencapai target kinerja yang makin tinggi dalam lingkungan kerja yang kompetitif dapat meningkatkan risiko terjadinya konflik. Saat individu merasa terbebani oleh harapan tinggi dan sumber daya yang terbatas, mereka cenderung menjadi lebih defensif dan kurang kooperatif. Perbedaan persepsi tentang keadilan dalam distribusi penghargaan atau pengakuan atas prestasi juga dapat memicu ketidakharmonisan tim. Konflik yang berakar dari masalah kinerja ini perlu ditangani secara proaktif untuk menjaga produktivitas dan keberlangsungan organisasi.
Dinamika-dinamika seperti ini akan selalu muncul selama berlangsungnya perubahan di dalam sebuah lingkungan organisasi. Konflik individu atau antar kelompok bisa menguntungkan atau merugikan bagi kelangsungan diri maupun tim. Perlu pengelolaan yang baik dalam menyikapi konflik seperti ini agar tetap produktif. Pengelolaan konflik secara sistematis dapat berdampak positif, memperkuat kerja sama, meningkatkan kepercayaan dan harga diri, mempertinggi kreativitas dan produktivitas, serta kepuasan kerja. Sebaliknya, jika salah dalam mengantisipasi, iklim organisasi akan semakin buruk dan memunculkan kerusakan. Konflik yang dikelola dengan baik menjadi kekuatan untuk mendatangkan perubahan dan kemajuan dalam lembaga.
Pendekatan Manajemen Konflik
Menurut Fred, ada tiga pendekatan dalam manajemen konflik, yaitu: 1). Penghindaran (avoidance): pengabaian persoalan dengan harapan konflik akan selesai dengan sendirinya; 2). Definisi (defision): tidak menekan perbedaan antar pihak yang berkonflik; 3). Konfrontasi: mempertukarkan pihak-pihak yang berkonflik sebagai pembelajaran. Leavitt mengemukakan bahwa konflik dapat diatasi dengan pendekatan konfrontasi, negosiasi, dan penyerapan (absorption),
Wexley mengemukakan pendekatan yang umum dilakukan diantaranya dengan menetapkan peraturan dan prosedur standar, mengubah pengaturan arus kerja, desain pekerjaan, serta aspek-aspek yang berkaitan, sistem reward untuk mendorong persaingan atau kerja sama. membentuk tim khusus yang berperan sabagai mediator, serta memberikan kesempatan dan pelatihan
Winardi berpendapat bahwa metode yang paling sering digunakan dalam penyelesaian konflik adalah melalui 1). Metode Dominasi atau Supresi yang hanya berusaha menekan konflik. 2) Metode kompromi, mengimbau pihak yang terlibat konflik untuk tujuan setiap kelompok untuk mencapai sasaran yang lebih penting bagi kelangsungan organisasi. 3). Metode Pemecahan Problem Integratif, mengalihkan konflik antarkelompok menjadi sebuah situasi pemecahan masalah bersama.
Walton berpendapat bahwa tujuan manajemen konflik adalah mencapai kinerja yang optimal dengan cara merawat konflik tetap fungsional dan meminimalkan dampak konflik yang merugikan. Penyelesaian konflik berkenaan dengan kegiatan-kegiatan pimpinan organisasi yang dapat memengaruhi secara langsung pihak-pihak yang bertentangan.
Rusdiana menjelaskan bahwa gaya seseorang dalam hal menghadapi konflik diletakkan pada cooperativeness (keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan minat pihak lain) dan assertiveness (keinginan untuk memenuhi keinginan dan minat diri sendiri).
Upaya Diri Menyikapi Konflik