“Tangi le, wes awan!” suara seorang ibu yang membangunkan anaknya dari tidur lelap.
“Nggeh mak.” Jawaban ringan dari Arwan.
Arwan bangun dari tidur dan melihat jam di layar hapenya, pukul 3 pagi tepat. Bagi sebagian besar orang jam 3 pagi mungkin masih terlalu pagi untuk bangun tapi untuk Arwan jam 3 pagi berarti dia sudah terlamabat 30 menit untuk melakukan kegiatannya sehari-hari.
Arwan harus harus bangun sepagi itu karena dia sekarang berada di tempat perantauan kedua orang tuanya. Dia merubah semua gaya hidupnya ketika berada di sini, Lampung, karena dia sekarang mempunyai nama baru sebagai tukang bakso bukan sebagai mahasiswa di salah satu unversitas swasta di Solo. 2 bulan ini Arwan liburan akhir semester dan inilah kegiatannya saat liburan sebagai tukang bakso.
Arwan bergegas mencuci mukanya agar kantuk segera hilang dari matanya. Diambilnya setumpuk uang yang berada di laci di samping tempat tidurnya. Uang yang digunakan untuk membeli 7 kilo daging sapi, 5 ons seledri dan tentunya uang untuk menggiling daging agar menjadi adonan bakso, jumlah yang cukup banyak baginya.
“Mangkat sek Mak.” Arwan berpamitan pada Emaknya untuk pergi ke pasar. Pagi itu dia hanya berangkat ke pasar sendirian karena tetangganya yang juga berprofesi sebagai tukang bakso kebetulan libur.
Arwan bernyanyi lirih dalam perjalanan ke pasar untuk memecah kesepian pagi itu. Perjalanannya menuju pasar memakan waktu 7 sampai 10 menit melewati gang-gang sempit khas kota besar dan sesekali menembus jalan besar dan masuk dalam gang lagi. Jika Arwan bosan degan nyanyiannya maka ia akan berganti melantunkan ayat Al Qur’an, Al-Falaq yang sering ia baca ketika dalam perjalan pagi buta seperti ini. “Katakanlah: aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh. Dari kejahatan Makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”. Tak pernah ia lupa satu ayatpun dari surah tersebut karena ia memang yakin bahwa hanya dengan pertolongan dari Tuhannya dia bisa merasa aman dari kejahatan malam. Tikus-tikus dan kucing yang mengais makanan di tempat sampah seperti berpesta di waktu seperti ini, Arwan tak asing dengan pemandangan seperti ini karena dia menganggap merekalah teman-temannya di pagi buta itu.
“Sendirian aja dek?” sapa seorang satpam Bank Danamon yang kebetulan dilewati Arwan setiap pagi.
“Ehm, iya pak. Yang laen lagi libur.” Arwan membalas sapaan itu sembari tersenyum. Walau saling tak mengenal tapi mereka terlihat cukup akrab, mungkin karena mereka sering bertemu dan merasa senasip lebih mempererat hubungan itu. Senasip karena di pagi buta itu mereka sedang bekerja walau berbeda profesi.
***
“Kita cabut yuk.” Sayup terdengar suara seorang gadis belia berkata dengan temannya. Vina yang sudah tidak enjoy lagi berada di club malam itu mengajak temannya untuk pulang.