Lihat ke Halaman Asli

Kompasianer Ini Masih Diragukan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13706230641601118076

[caption id="attachment_258741" align="aligncenter" width="300" caption="Bukan sekadar identitas (Dok ITM) "][/caption] Sudah dua tahun lewat beberapa hari saya bergabung dengan Kompasiana. Dari perjalanan waktu yang sudah cukup lama itu, rasanya saya sudah kian berani dan aktif ber connecting and sharing dengan khususnya sesama kompasianer. Tampilan identitas via KTP di atas bisa memberi tanda kalau saya benar-benar ingin  menampilkan jati diri asli ke hadapan publik. Kadang saya berpikir jangan sampai ada yang masih perlu diperjelas kepada sesama kompasianer tentang latar belakang asal muasal saya . Saya lahir di Makassar pada 8 Maret 1967, namun sejak Taman Kanak-kanak (TK) hingga SD Alhilaal III saya berada di kota Ambon Provinsi Maluku. Ayah ibu saya berasal dari Bugis, upaya lewat merantau berdagang di kota yang dikenal negeri para raja. Ayah ibu saya sejak berada di Ambon hingga saat ini bertahan tinggal di satu tempat, nama alamat (kampung) Pohon Pule Jalan Baru. Kalau mau lengkapnya di RT 09/10 RW 04 Kelurahan Honipopu Kecamatan Sirimau Kota Ambon. Tanpa terasa masa kecil saya sudah dibekali penuh warna dan  penuh dinamika, diantaranya karena lingkungan saya berada di daerah pusat kota Ambon, apalagi kampung Pohon Pule Jalan Baru dikenal dengan penghuni yang heterogen. Walau dominan  kampung yang dulu dikenal "RumahTap" (rame berjudi dan berminum) dihuni orang perantau Bugis Makassar yang kerja di pasar dan pelabuhan. Ada juga warga dari Buton (Sulawesi Tenggara) yang banyak menjual ikan bakar (jajanan) di depan masjid raya Alfatah.Sedangkan ada juga orang Jawa yang kos-kosan menjual bakso gerobak. Ada satu keluarga orang Cina tepat berada di depan rumah kami. Orang asli Ambon yang bekerja kantor dan berwiraswasta. Termasuk  ada beberapa rumah yang berasal dari orang Ambon kampung beragama Kristen yang sudah lama bermukim secara turun temurun bersama-sama tinggal di dalam daerah yang dominan warganya beragama Islam. Hanya sayang, akibat konflik 1999, warga Kristen itu sampai kini belum semuanya kembali ke kampung Jalan Baru, seperti keadaan dulu. Saya masih ingat kalau yang turut menggendong saya adalah para "tanta"(beragama Kristen) yang hingga kini masih bersarung khas salah satu daerah kampung Ambon. Kadang rumah mereka yang, walaupun ada anjingnya, tidak membuat jarak untuk saling bertegur sapa. Malah, karena letak Gereja Silo yang berdekatan dengan rumah, adakalanya saya sering ke gereja tua itu untuk mengambil burung kecil. Olehnya itu, mungkin dengan kebiasaan itu - burung-burung itu dikenal panggilan dengan' burung gereja'. Saking sering terdengar lagu rohani (ibadah) kaum Kristen itu, hingga kini saya masih terngiang dengan dengungan, seperti Halelulya, haleluya. Sebagai muslim saya disadarkan, kalau dengungan itu muncul secara refleks saya pun ber-astagfirullah," Nauzu billahi min zaalik". Semoga niatan dari tulisan ini bisa memberi ruang "refrensi" buat pihak mana yang ingin mencari  "cerita lain" dari keberadaan kota Ambon yang dulu sempat dianggap sebagai kota "Hongkong Kecil" itu berubah karena terpaan permainan pihak yang tidak bertanggung jawab. Saya terus berusaha memperjelas keadaan kota yang kini sudah kian kondusif. Harapan saya, semoga cerita nostalgia seperti saya utarakan kali ini tidak dianggap angin lalu. Sangat banyak orang-orang  - bahkan yang telah lama meninggalkan kota negeri pala dan cengkih ini mau menghubung seraya berbagi tentang keindahan kota yang diapit beribu pulau ini. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk wilayah Provinsi Maluku sudah diambang pintu. Jangan sampai intrik lain dari terbunuhnya saudara/ keluarga Jhon Kei, tertangkapnya Theddy Tengko, Bupati Aru, kian memberi peluang pihak luar masih menganggap "ragu" untuk datang berkunjung ke kota yang berukuran huruf "U" ini.Saatnya kota yang habis porak poranda akibat dilanda rentetan konflik berkepanjangan ini segera dipenuhi dengan berita-berita positif. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya dengan dua kasus yang saya sebutkan, tentunya berita-berita negatif jangan lagi disuburkan. Selayaknya, kita memberikan kepercayaan sepenuhnya, warga Maluku lah (siapa saja yang tinggal di Maluku) yang lebih tahu apa yang terbaik buat masa depan anak cucunya kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline