Lihat ke Halaman Asli

Jalan Revolusi Ala Filsuf Diogenes dan Jokowi

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1398630136619985739

Oleh: Marlin Bato,
Jakarta, 28/04/2014

Langgam Revolusi Ala Filsuf Diogenes Laertius

Adalah seorang filsuf dari Sinope bernama Diogenes Laertius, hidup pada abad ke-4 SM, yaitu sekitar tahun 412-323 SM di masa pemerintahan Alexander Agung. Ia adalah seorang filsuf beraliran mazhab sinis yang merupakan suatu aliran yang berakar dari ajaran Socrates. Aliran ini mengajarkan tentang hakikat kebaikan. Karena itu Diogenes berpendapat bahwa kebaikan hanya dimiliki oleh manusia yang merasa puas yang menanggalkan kesenangan duniawi. Kendati demikian karakter Socrates sangat berbeda jauh dengan Diogenes yang pemarah. Diogenes menyebut dirinya antithenes sebagai, "Terompet yang berbunyi bagi dirinya sendiri". Karenanya, Ia memilih hidup sederhana untuk menunjukkan konsistensinya pada apa yang ia ajarkan. Diogenes mengajarkan tentang keadaan manusia yang alamiah, juga tentang inti pengendalian diri. Ia ingin revolusi karakter dan mental masyarakat yang cenderung memuja hal-hal yang salah, sehingga tidak berani menentang kediktatoran. Diogenes sangat marah pada sikap hidup yang demikian. Karena sikap pemarah dan konsistensinya inilah, Plato menjulukinya sebagai "Socrates yang pemarah".

Alkisah, diceritakan Diogenes pernah membawa pelita yang menyala di tengah-tengah pasar pada siang hari untuk mencari adakah manusia yang jujur. Hal itu dilakukannya untuk memberi kritik terhadap masyarakat yang tidak lagi hidup secara alamiah. Dengan demikian, apa yang dimaksudkannya dengan keadaan manusia yang alamiah adalah bagaimana manusia hidup dengan standar minimal untuk hidup.

Pada suatu ketika Alexander Agung menemui Diogenes. Pada zamannya, Diogenes dikenal sebagai filsuf yang gemar mencomooh. Tata krama dan tata hidup masyarakat yang telah dianggap baku ia goncang dengan cemooh cemoohan. Ia hidup dalam peti jenasah, tak pernah mandi, berpakaian compang camping, makan dari tempat sampah. Ia dikenal hidup seperti anjing. Maka orang orang menjulukinya “sinis”. Kata “sinis” berasal dari bahasa Yunani: kynikos. Artinya: seperti seekor anjing.

Alexander Agung, sang kaisar yang hampir menyatukan seluruh dunia itu memang bersahabat dengan Diogenes. Dia mendatangi si filsuf di lubangnya yang kumuh. Di depan pintu masuk Alexander bertanya: “Ada yang bisa aku bantu?” Diogenes menjawab: “Ya, ada. Tolong bung kaisar menyingkirlah agar tak menghalangi cahaya masuk.”

Bagaimana mungkin seorang Diogenes mengusir begitu saja kaisar yang ditakuti dan dikagumi dunia itu? Hanya filsuf yang sinis semacam Diogeneslah yang bisa melakukannya. Sekarang ini orang Indonesia gemar menjauhi pandangan sinisme ala Diogenes. Orang Indonesia lebih suka berbasa basi, mencari pembenaran diri, juga kerap memuja sosok-sosok kontroversional. Akibatnya, daya kritis menjadi tumbul. Akal waras pun dipuja (artinya memberhalakan sesuatu yang mapan dan menjadi konvensi, dan suara umum). Orang Indonesia malu menjadi gila (artinya berbeda dengan pendapat umum). Hal ini sangat kontras dengan ritme politik tanah air akhir-akhir ini. Karenanya, negeri ini butuh proses revolusi yang panjang yaitu revolusi mental.

************* Riak Dinamika Revolusi Indonesia *************

Kekinian, revolusi sejatinya tidak selalu berhubungan dengan peristiwa berdarah, akan tetapi ada pun revolusi yang bersifat subjektif perubahan dini di berbagai aspek hidup dengan maksud dan tujuan tertentu misalnya, revolusi moral [mental], revolusi hijau [gerakan penghijauan] dan lain sebagainya yang berkaitan dengan program-program pemerintah.

Tahun 1948 lalu, tiga tahun setelah medeka, rakyat Indonesia di Jakarta dan beberapa daerah bangkit berevolusi melawan penjajah. Kala itu revolusi Indonesia meletus bukan saja karena kecerdasan seorang pemimpin seperti Tan Malaka yang menggerakan massa aksinya, tetapi juga memang sudah diharuskan meletus karena keadaan nasional dan internasional pada waktu itu telah menentukan tingkatan pertentangan dalam masyarakat kita antara kelas menindas dan kelas tertindas, antara penjajah dan terjajah yang telah memuncak dan harus menimbulkan PERLAWANAN dengan SENJATA!!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline