Lihat ke Halaman Asli

Perburuan Capres Minus Malum di Negeri Khatulistiwa

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14001694801939377659


Gambar hanya ilustrasi


Oleh Marlin Bato
Jakarta, 12/05/14

Kilas Balik Entitas Nusantara

OPINI - Selebrasi demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden sudah sangat nampak depan mata. Eskalasi perpolitikan mulai mencuatkan tensi yang cukup tinggi, panas bak merapi yang sedang meletupkan lava pijar. Aroma persaingan pun semakin sulit dikontrol bahkan menjadi konsumsi empuk bagi khalayak publik setiap saat melalui berita di berbagai media. Semua calon presiden merasa yakin bisa memenangkan hati konstituen. Bahkan, masing-masing mengaku akan memenangkan pemilihan presiden tahun 2014. Hal ini lantas menguatkan credo seolah hanya dirinyalah calon yang terbaik dan mampu mengemban visi kebangsaan yang diamanatkan sekitar 250 juta rakyat Indonesia.

Kendati belum memasuki masa kampanye, namun ketegangan dan tensi konstelasi politik sangat terasa melalui berbagai manuver-manuver maupun retorika. Ada pun beberapa elit politik secara terang-terangan melancarkan manifesto baik pro maupun kontra terhadap calon-calon presiden yang nama-namanya telah mencuat. Ada pula elit-elit partai politik yang masih larut dalam kegelisahan karena terguncang 'conflict of interest'.

Suasana semacam ini rupanya sangat bertolak belakang bila kita mengenang pemilu perdana pada penghujung september dan medio desember tahun 1955. Betapa aman, tenteram, damai, serta sejuknya cuaca ketika itu, hampir tak nampak suasana saling serang dan saling sindir kala itu di negeri yang mengaku nusantara ini. Pada saat yang sama, Sang Hyang Widhi menebarkan pelangi dan kabut tipis di bumi khatulistiwa, di kawasan subtropika pada september dan desember nan sejuk. Itulah sebabnya kaum saudagar dari Jazirah menyamakan negeri nusantara ini ibarat taman di bukit kintamani.

Kedamaian, ketenteraman dan suasana aman seperti dicontohkan di atas sedapat mungkin dilengkapi hal-hal lain. Melihat perkembangan bumi nusantara kini, ada yang nyaris kebalikan dari yang taman eden nusantara ribuan tahun lalu, sebagian wilayahnya di zaman ketika pujangga Walmiki dalam ciptaan Ramayananya dinamakan 'Suwarnadipa', yang makna harfiahnya adalah kepulauan emas .

Refleksi ini, membawah kita sesaat pada sebuah locus mana yang lebih pantas disebut taman eden. Nusantara yang hingga abad ke-21 sekarang masih dibanggakan dunia sebagai “surga yang hilang”, seperti ditulis Prof Arysio Nunes Santos dalam bukunya berjudul Atlantis : Benua Yang Hilang, yang juga diyakini Stephen Oppenheimer seperti penjabarannya dalam buku "Eden in the East".

Siapa pun yang mengaku anak nusantara, tiada satu pun yang hendak menafikan kenyataan tersebut seperti yang digambarkan Multatuli melalui karya Max Havelaar sebagai “rangkaian zamrud di khatulistiwa”. Siapa pun tak akan sanggup mengingkari realita keilahian bahwa nusantara ini memang diliputi bagian dunia yang sungguh sangat indah. Sejak ribuan tahun tak bisa dipungkiri, penduduk nusantara ramah, dan cinta damai pada sesama. Kekayaan flora dan fauna serta khazana seni budayanya pun turut menyempurnakan harkat dan martabat manusia Indonesia.

*****

Ironi Di Negeri Khatulistiwa

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline