Lihat ke Halaman Asli

Raja Lengser

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Raja hendak turun keprabon.

Berita itu cepat menyebar seantero negeri, orang-orang nampak riuh membawa berita ini dalam setiap kesempatan. Dalam obrolan warung kopi, di sawah, di balai desa bahkan masuk ke dalam pengajian-pengajian. Seakan menunjukkan penilaian mereka yang shahih dan pantas dipertimbangkan.

'Sebenarnya aku sudah lama menanti  raja turun tahta, Cak. Lha gimana sejak sewindu lebih dia yang mimpin apa-apa makin mahal, sembako gak bisa stabil harganya. Ngerti sendiri Cak, aku tengah akhir bulan sering ngutang ma sampeyan, UMR walaupun sudah batas minimal tetep aja susah ngidupin anak tiga', Safrudin membuka suara di warung kopi milik Cak Dul.

'Sampeyan enak, din. biar hanya jadi buruh, urusan upah tiap bulan lancar, bisa diaturlah gimana belanja tiap bulannya. Lha aku ini cuma petani, pupuk, pestisida yang katanya disubsidi nyatanya harga juga dimonopoli, ngenes din. Harusnya subsidi langsung dikasing ma kelompok tani, lah ini malah dikasih produsen pupuk, lha sama juga kongkalikong, kualitas pupuk nggak diawasi, wereng aja gak mempan.' timpal Kusno sambil membetulkan posisi duduknya, nampak agak geram benar.

'loh, buruh tetep buruh Kus, upah mentok semono. Diatur sana-sini'

'setidaknya nggak kayak petani, musim tanam benih dijual mahal, pas panen hasil jualnya anjlok. Wong tani ki emang rekoso, jadi objek derita tapi nggak boleh ngadu. Sampeyan buruh punya serikat buruh, kalau mau demo serentak bisa penuh jalan raya. Lha kelompok tani, sama tengkulak saja ciut, ditagih utang benih musim tanam depan nggak boleh ijon', keluh Kusno makin tak tertahan.

Senja di desa Margasari memang terlihat lenggang, petani yang pulang dari sawah biasanya langsung ke rumah, bersuci sambil menunggu Maghrib. Hanya Kusno saja satu dari banyak petani-petani Margasari yang memiliki kebiasaan mampir ke angkringan Cak Dul seusai bersawah. Sekadar ngopi, atau ngobrol bareng pelanggan lain. Dan sejak tiga hari ini angkringan itu sudah seperti gedung dewan bertenda, sibuk ngurusin kabar berita tentang Raja yang turun tahta. Kusno yang paling antusias menyambutnya, kalau sedang ngobrolin topik itu, dia juga yang paling vokal ngomongin kejelekan Raja, mulai dari kebijakan yang tak tepat sasaran, pemborosan anggaran, upeti siluman, sampai kegemaran Raja yang suka nembang di istana saja dia kritisi.

'Kalian berdua ini ngrasani Raja, kayak ngerti aja ngurus negeri ini gampang.' Cak Dul singkat menimpali.

'Yo gak ngono Cak, aku cuman ngasih tahu, ini loh korban kapitalis yang belum sejahtera. kan Raja juga ikut andil dalam membuat kebijakan.'

'Lha siapa suruh jadi buruh, lha mbokya kayak aku gini buka usaha sendiri, apa kayak Kusno jadi petani'

' eh kosik Cak, jadi petani itu juga digilas kapitalis Cak, kultur petani mulai dipudarkan oleh kebijakan yang tak memihak petani. sebenarnya kita bisa swasembada sembako, beras ayok kacang kedele ayo lahan masih luas, dan tanah juga masih subur. lha ini alih-alih diayomi malah dibikin cemas kran impor sembako murah yang bikin hasil panen anjlok. Nah dari situ anakku yang aku gadang-gandang nerusin nggarap sawah ogah, malah milih jadi kerja di negeri seberang yang katanya upahnya gede, jarang ada demo. Yowis rapopo sakkareppe, aku gak bisa maksa.' Kusno seakan nggak terima ucapan Cak Dul.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline