Sejak zaman Hindu Buddha di Indonesia, masyarakat pribumi Indonesia sudah mengenal pendidikan, namun pada saat itu pendidikan di Indonesia hanya mengajarkan agama Buddha. Pada masa itu, Indonesia tepatnya kerajaan Sriwijaya merupakan jembatan bagi orang-orang dari negara lain yang ingin mempelajari agama Buddha yang nantinya akan melanjutkan di Universitas Nalada, India. I Tsing menyatakan bahwa kerajaan Sriwijaya merupakan rumah bagi para sarjana Buddha berkumpul dan belajar, dari berita yang di sebarkan oleh I Tsing tentang Sriwijaya yang merupakan pusat para sarjana Buddha berkumpul dan belajar dapat disimpulkan bahwa, Indonesia pada saat itu sudah mengenal sistem pendidikan meski pun pendidikan yang masih bersifat ke agamaan. Sekolah-sekolah yang bersifat keagamaan ini masih tetap bertahan hingga saat ini, namun semenjak Islam berkembang di Indonesia sekolah-sekolah Buddha yang pada masa kerjaan Sriwijaya merupakan tempat berkumpul dan belajar para sarjana-sarjana dari negara lain ini menghilang dan digantikan oleh sekolah-sekolah yang bercorak Islam.
Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan. Pada masa kolonial, pendidikan di Indonesia menjadi lebih beragam, tidak hanya pendidikan yang bersifat agama saya namun masyarakat pribumi sudah mulai mempelajari bahasa Belanda, pertanian, dan teknik yang di ajarkan oleh Belanda. Sistem pendidikan yang dibuat oleh Belanda merupakan salah satu bagian dari politik etis yang dijalankan Belanda di Indonesia, dalam program politik etis yang diberlakukan Belanda di Indonesia ini mencangkup irigasi, emigrasi, dan juga edukasi. Berawal dari sini lah sistem pendidikan Indonesia tercipta.
Berawal dari politik etis yang dilakukan Belanda lah masyarakat pribumi Indonesia mulai mengenal pendidikan, selain pendidikan agama yang berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam di Indonesia. Latar belakang Belanda melakukan politik etis karena, karena adanya rasa keprihatian terhadap bangsa Indonesai karena Belanda merasa memiliki hutang budi yang besar terhadap masyarakat Indonesia karena telah berhasil meraih untung besar dalam perdagangan rempah-rempah di Eropa. Selain itu faktor-faktor yang mendorong Belanda untuk melakukan politik etis antara lain :
- Adanya laporan tentang kemerosotan kesejahteraan pribumi
- Banyaknya laporan tentang keadaan lahan-lahan yang berpotensi dan dapat menguntungkan pihak Belanda
Dari kedua faktor diatas lah yang memperkuat niat Belanda untuk menjalankan politik etis di Indonesia.
Dari ketiga pilar dari politik etis Belanda tersebut, irigasi menjadi prioritas utama Belanda, karena Belanda menganggap bahwa di Indonesia masih banyak lahan-lahan yang subur untuk ditanami dan akan membawa keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan dagang swasta milik Belanda. Program irigasi yang dilakukan Belanda berdampak pada perebutan air dengan masyarakat pribumi, hingga pada akhirnya program irigasi ini gagal. Kegagalan program irigasi ini dikarenakan irigasi hanya dilakukan untuk tanah-tanah milik Belanda saja, Belanda tidak memperhatikan tanah-tanah milik masyarakat pribumi yang tidak kebagian air.
Selain melakukan irigasi pada tanaman kopi, tebu, dan rempah Belanda juga mencoba mengembangkan hasil bumi Indonesia yang lain seperti minyak bumi dan karet yang berada di luar pulau Jawa, hal ini juga yang memicu emigrasi yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda. Kedua hasil bumi tersebut tidak kalah pentingnya di dunia perdagangan internasional, maka dari itu pada politik etis ini Belanda mencoba untuk melakukan emigrasi kepada masyarakat Jawa untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja Belanda yang berada di luar pulau Jawa.
Program terakhir dari politik etis Belanda adalah tentang pendidikan, pada awal abad ke-19 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan pemerintahan tentang pendidikan masyarakat pribumi, inti dari peraturan pemerintahan tersebut ialah memperbolehkan masyarakat pribumi untuk bersekolah di sekolah-sekolah Belanda yang ada di Indonesia. Akan tetapi peraturan pemerintahan tersebut tidak berjalan sebagai mana mestinya, karena uang yang akan digunakan untuk biaya operasional sekolah masyarakat pribumi harus di alokasikan ke kas pemerintahan pusat di Belanda. Pada akhirnya, pemerintah Belanda menyisihkan f.25.000 tiap bulannya untuk biaya operasional sekolah masyarakat pribumi. Dengan syarat, masyarakat pribumi yang telah lulus dari sekolah Belanda harus bekerja sebagai mandor di perkebunan milik Belanda. Menurut Dr. Lucia Juningsih dalam perkuliahannya, ia menyatakan bahwa maksud dari Belanda memperbolehkan masyarakat pribumi untuk bersekolah di sekolah-sekolah Belanda yang ada di Indonesia ialah, Belanda ingin memperkerjakan orang-orang yang berilmu dan memberikan upah yang murah. Beliau menambahkan bahwa orang-orang Belanda yang berilmu upahnya sangat tinggi ketimbang orang-orang pribumi. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa, politik etis yang di jalankan oleh Belanda tidak semata hanya ingin mensejahterakan masyarakat pribumi tetapi tetap ingin memperkaya diri dari hasil bumi Indonesia.
Sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia pada waktu itu pun terdapat dua kelas, kelas satu diperuntukan bagi orang-orang golongan atas dan kelas dua diperuntukan bagi masyarakat pribumi biasa. Selain membuka sekolah dasar, Belanda juga membuka lembaga bahasa Belanda yang lebih menerima semua golongan orang pribumi yang ingin belajar bahasa Belanda, setelah lulus dari lembaga bahasa Belanda ini masyarakat pribumi akan di arahkan untuk melanjutkan sekolahnya di OSVIA dan STOVIA. OSVIA yang merupakan sekolah kedokteran bumiputera dan STOVIA merupakan sekolah pegawai bumiputera pada awalnya adalah sekolah kelas satu yang diperuntukan bagi orang-orang golongan atas, akan tetapi pada tahun 1907 sekolah ini merubah sistem pendidikannya menjadi sekolah bahasa Belanda dengan masa pendidikan 5 tahun dan juga terbuka bagi masyarakat pribumi golongan atas.
Dengan dibukanya sekolah-sekolah Belanda di Indonesia, masyarakat pribumi pada saat itu memiliki kesempatan untuk mendapatkan pelajaran bahasa Belanda dan juga ilmu pengetahuan lainnya. Tetapi dengan banyaknya di bangun sekolah-sekolah Belanda di Indonesia, masyarakat pribumi sendiri masih sering di persulit untuk bersekolah, karena pada saat itu status sosial seseorang masih menjadi suatu hal yang sangat di perhatikan. Orang-orang pribumi yang pada saat itu berstatus sosial rendah, tidak dapat bersanding atau berada sejajar dengan pelajar-pelajar dari golongan atas dan bangsawan yang dengan mudah melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya.
Pada tahun 1914, Belanda merubah sekolah golongan satu yang diperuntukan untuk orang-orang golongan atas menjadi Hollandsche School atau HIS. Cara pengajaran di HIS menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, namun siswa-siswa yang telah lulus dari HIS akan di arahkan ke sekolah lanjutan milik Belada. HIS ini sendiri masih di peruntukan untuk masyarakat pribumi dengan status sosial tinggi seperti anak-anak dari priyayi, karena untuk dapat bersekolah di HIS harus memenuhi syarat mengenai penghasilan terendah dari orang tua siswa.