Lihat ke Halaman Asli

Indonesia dan Korea Selatan Menjelang AEC Tahun 2015 dan APEC Tahun 2020

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1399895157241841547

Jika bercermin pada kaca sejarah, nampak terlihat proyek pembangunan atau modernisme di Indonesia dan Korea Selatan startinghistorisnya sebenarnya relatif bersamaan. Korsel mengawali awal 1960-an. Indonesia menjelang akhir 1960-an. Model pembangunan yang diadopsi relatif sama yaitu mendudukkan negara (state) sebagai agen of developmentalism. Sebagaimana Soeharto di Indonesia, kekuasaan Park Chung-hee juga bertumpu pada kekuatan militer, birokrasi, dan lingkaran intelektual-teknokratis. Tidak aneh rezim Korsel di bawah Park Chung-hee dan Indonesia di bawah Soeharto, disebut-sebut banyak akademisi dengan nama yang sama yakni “rezim otoriterian birokratis”. Latar belakang kedua presiden ternyata sama: tentara. Sehingga, boleh dikata Presiden Soeharto dan Presiden Park termasuk peletak dasar strong military-dominated government di Asia. Implikasinya eksistensi negara (state) hadir dominan dalam proses pembangunan dan implementasi demokrasi dilakukan secara terbatas (baca: terkontrol).

Kedua negara sama-sama bekas jajahan kolonialisme Jepang. Dalam konteks Perang Dingin, kedua negara sama-sama meniti resep developmentalism atau modernism a-la Amerika. Resep awalnya sama-sama mengundang investor asing (PMA) sebagai penggerak roda ekonomi nasional. Juga sama-sama mengawali kebijakan industri nasionalnya melalui skema kebijakan substitusi impor, membangun industri dasar dan mendudukkan BUMN sebagai motor pembangunan, dan perlahan-lahan menggeser pendulum kebijakan diarahkan pada pendalaman industri dan industrialisasi orientasi ekspor disertai strategi penguatan klas borjuasi nasional (enterpreuneurship).

Yang menarik salah satu karakteristik pembangunan Korsel ialah munculnya fenomena chaebol sebagai konsekuensinya. Chaebol adalah konglomerat-konglomerat raksasa, dikuasai oleh sistem keluarga yang sangat sentralistik yang mendominasi perekonomian nasional. Tentu tidak jauh berbeda adalah tumbuhnya konglomerasi dan kekuatan oligarki di Indonesia. Di sini kedekatan hubungan politis yaitu relasi model patron-client antara negara dan pembisnis atau secara populer kita sebut fenomena KKN (baca: kolusi, korupsi dan nepotisme) adalah kata kunci pentingnya.

Sedangkan yang membedakan adalah Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam (SDA), sedangkan Korsel miskin dan harus impor. Indonesia memiliki potensi pasar dalam negeri (domestik) yang sangat besar, sedangkan Korsel relatif berpenduduk kecil. Namun meski demikian, setelah beberapa dekade proyek pembangunan itu berlangsung hasilnya nyata sungguh sangat kontras.

Di satu sisi Korsel tumbuh menjadi negara yang sanggup membangun kekuatan industri nasionalnya secara mandiri, meskipun ia sebenarnya notabene tidak didukung oleh sumber daya alam yang memadai. Korsel berhasil menjadi negara industri modern dan sekaligus kekuatan ekonomi yang diperhitungkan oleh dunia. Dalam hitungan waktu yang relatif cepat yaitu sekitar 30 tahunan, negara ini sudah bisa disejajarkan termasuk dalam kategori negara industri baru. Tidak berlebihan jika Korsel dianggap salah satu keajaiban ekonomi di Asia. Sebagaimana negara Jepang dan China, keberhasilan pembangunan Korsel kini menjadi model bagi negara-negara lainnya.

Sejak 2005 Korsel telah berubah menjadi salah satu negara industri utama. Di samping memimpin industri elektronik dan handphone, ia juga menduduki peringkat pertama industri pembuatan kapal, urutan ketiga dalam pembuatan ban, keempat dalam produksi serat sintetis, urutan kelima dalam industri otomotif, dan keenam dalam industri baja. Korsel juga berada pada peringkat ke-12 dalam PDB nominal, tingkat pengangguran rata-ratanya rendah, tingkat pendidikan tinggi dan pendistribusian kesejahteraan masyarakat relatif merata (www.asianinfo.org/asianinfo/korea/economy.htm). Selain itu, apa yang penting juga kita catat bahwa, negara ini sanggup membangun tumbuhnya budaya dan etos kerja tinggi disertai menguatnya rasa nasionalisme terhadap produk-produk dalam negeri.

Sedangkan di sisi lain, nasib Indonesia sungguh ironis dan dramatis. Sejak krisis Asia 1997 struktur ketergantungan ekonomi nasional terhadap barang modal impor dan hutang luar negeri semakin nampak telanjang. Dari tahun 2002 sampai dengan 2007, sektor industri manufaktur terus mengalami kemerosotan. Kontribusi industri manufaktur pada tahun 2002 sebesar 27,9 persen, terus mengalami penurunan hingga tahun 2007 turun menjadi 27,4 persen. Malah kita tahu sejak 2005 Indonesia ditengarai mengalami fenomena deindustrialisasi. Deindustrialisasi adalah penurunan peran sektor manufatur dalam perekonomian nasional. Gejala ini ditandai merosotnya daya saing produk industri nasional karena tak mampu bersaing di pasar global.

Fenomena ini setidaknya diafirmasi oleh riset LIPI pada akhir 2010. Data LIPI menunjukkan pada kurun waktu 1990-1999 pertumbuhan serapan tenaga kerja di sektor industri mencapai 5%. Namun pada kurun waktu 2000-2009 justru terjadi penurunan, persentase penyerapan tenaga kerja sektor industri hanya 1,1%. Sedangkan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dalam waktu 2000-2009 tumbuh 1%, naik dibandingkan kurun waktu 1990-1999 yang berada pada kisaran minus 1%. Ini tentu sangat mencemaskan. Deindustrialisasi adalah sinyal merah, bahwa “kita akan menjadi bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa” sebagaimana kecemasan Soekarno dulu.

Sementara itu pada bidang agroindustri, akhir-akhir ini kadar besaran impor terhadap barang-barang kebutuhan pokok nampak semakin menggila.

Ya, Indonesia kini masih terjebak pada kungkungan fase “negara bukan ini dan bukan itu”. Orang sekolahan lazim menyebut fenemona ini sebagai dualisme ekonomi beserta dampak turunannya. Seolah-olah masih jalan di tempat sejak J.H. Boeke merumuskan teori dualisme ekonominya, Indonesia adalah bukan negara industri modern namun juga bukan negara agraris tradisional. Demikian juga Indonesia tentu bukan negara maritim. Indonesia negara maritim naga-naganya masih sebatas ekspetasi politis. Kecintaannya kita pada produk-produk dalam negeri pun masih sebatas norma dan cita-cita mulia. Secara kebudayaan Indonesia bukan negara modern tapi juga bukan negara tradisional. Budaya dan etos kerja relatif rendah, namun perilakunya konsumtif.

Sementara bersamaan dengan itu, tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) 2015 yaitu pembukaan arus pasar bebas, investasi, keuangan, perdagangan barang dan jasa secara regional sudah di depan mata (tahun 2015), sedangkan dalam skala regional ASIA-PASIFIC (APEC) tinggal sejangkah kaki (tahun 2020).

Namun nampaknya Indonesia kini masih disibukan oleh upaya membangun sebuah kelembagaan demokrasi yang ideal, namun ironisnya toh tetap saja susah menghasilkan sistem Pemerintahan yang kuat. Padahal tanpa sistem Pemerintahan yang kuat dan modal kerja ekstra keras seluruh elemen bangsa di dalamnya, Indonesia sudah pasti kedodoran menghadapi dinamika arus kompetisi pasar bebas dan perdagangan bebas.

Bagaimana dampaknya? Saya yakin, intensitas kebijakan liberalisasi ekonomi dalam kerangka pasar bebas dan perdagangan bebas regional baik melalui AEC maupun APEC pasti berdampak melebihi efek tsunami Aceh bagi Indonesia. Sungguh sangat dahsyat! Pada titik ini banyak pelajaran berharga patut kita simak dari kasus pembangunan Korsel.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline