Sore itu, sorak sorai kemenangan menggema di seluruh Indonesia pada tanggal 9 Juli 2014. Ribuan orang berbaju kotak – kotak menyemut di Tugu Proklamasi, dengan gembira mengelu-elukan kemenangan Jokowi-JK. Sedangkan massa berbaju putih berkumpul di Hotel Bidakara, tak kalah semangat merayakan kemenangan Prabowo-Hatta. Sementara itu, Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia sedang mengumpulkan panglima TNI dan jajarannya, seperti Kepala Staf Angkatan darat, Kepala Staf Angkatan laut, Kepala Staf Angkatan udara dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia di Cikeas. Kemungkinan besar merapatkan mengenai keamanan negara pasca pemilu.
Hasil quick count terbelah. Delapan lembaga survey terpercaya memenangkan Jokowi-JK, sedangkan 4 lainnya memenangkan Prabowo-Hatta. Meski keempat lembaga survey yang terakhir ini diragukan kredibilitasnya, pendukung Prabowo-Hatta tetap mempercayainya.
Terkait hasil quick count yang terbelah dua, SBY menyerukan rakyat Indonesia untuk menunggu hasil KPU dan menjadikan real count KPU sebagai rujukan utama. Malam harinya, SBY bertemu dengan kedua kandidat tersebut di Cikeas secara terpisah. Jokowi diterima terlebih dahulu pukul 21.30 WIB, kemudian Prabowo pukul 23.30. Perlu diketahui, pertemuan ini adalah atas permintaan kedua kubu, karena Presiden tidak mungkin memanggil pasangan calon.
Seusai bertemu selama 40 menit, Jokowi memberikan pernyataan mengenai pertemuannya dengan Presiden. Dia menghimbau para pendukungnya untuk tidak melakukan pawai dan menggantinya dengan doa syukur bersama.
Setelah Jokowi, berikutnya giliran Prabowo bertatap muka dengan Presiden SBY. Dalam pertemuan itu, Prabowo mengadu pada presiden tentang sejumlah aksi pendukung kubu lawannya, Jokowi-JK.
"Kami sampaikan juga kepada Pak Susilo Bambang Yudhoyono, kalau pihak capres nomor 2 terus melakukan aksi-aksi di luar, di lapangan dan di massa. Maka tentunya, karena ini adalah, katakan lah ini suatu perang persepsi," kata Prabowo usai bertemu Presiden. Menurut Prabowo, presiden hanya berpesan padanya agar menjaga ketenangan sehingga tidak konflik horizontal. Prabowo mengklaim sesuai dengan arahan presiden, pihaknya dari awal sudah memiliki komitmen menjaga situasi tetap tenang.
"Sejak awal komitmen kami tetap sejuk, menahan diri tidak euforia apalagi terpancing. Kita harus menahan benar-benar, itu tekad saya dan koalisi merah putih," tegas Prabowo. Prabowo kembali meminta tidak ada perang persepsi di antara kubunya dan kubu lawan. Sebaiknya, kata dia, menunggu hasil real count dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia meminta pihak Jokowi-JK tidak menggiring opini terkait kemenangan. Prabowo juga menuding ada kelompok media yang melakukan rekayasa atas penghitungan suara sementara.
"Kita tak mau nanti persepsi terbentuk, opini terbentuk, bahwa pihak A sudah menang. Quick count yang kami terima kami menang besar di berbagai tempat, yang tadinya dikatakan pihak sana kami kalah. Jangan menciptakan opini, itu sama memaksakan kehendak, kasihan rakyat. Kesimpulan jangan digiring," tandas Prabowo. (jpnn.com)
Anehnya, meskipun Prabowo menuding pihak Jokowi-JK telah menggiring persepsi masyarakat dengan deklarasi kemenangan berdasarkan quick count, dia juga melakukan hal yang sama. Jadi sebetulnya bisa dikatakan Prabowo menunjuk Jokowi-JK dengan satu jari telunjuk, tapi tiga jari lainnya malah menunjuk dirinya sendiri.
Kedua pertemuan tersebut dilakukan secara tertutup dan tidak boleh diliput media. Kemungkinan besar ada motif politik yang lebih besar dibalik dua pertemuan tersebut. Mereka menganggap presiden memiliki kuasa politik untuk mempengaruhi hasil KPU. Kedua kubu menginginkan agar hasil KPU memenangkan diri mereka masing – masing. Memang pengaruh SBY ke KPU ataupun MK tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Tetapi dalam budaya politik Indonesia selama ini, sulit dipercaya tidak ada namanya “restu” cikeas terutama pada perekrutan pejabat KPU dan MK. Meskipun Presiden SBY menampik tudingan ini, dia jelas – jelas MEMILIKI KEPENTINGAN siapa yang akan menjadi presiden Indonesia selanjutnya.
Apa pasal? Goal SBY di tahun 2014 ini adalah turun dari kursi RI-1 dengan mulus (soft landing). Namun KPK saat ini sedang menilik kasus Century dan kasus Hambalang. Bila ditelusuri lebih lanjut, bukan tidak mungkin SBY akan terjerat kasus Century selepas dia turun. Sedangkan kasus Hambalang pada akhirnya meletakkan Ibas dalam jajaran tersangka KPK.
Maka bolehlah kita berandai-andai. Seandainya saya menjadi SBY, siapa yang akan saya pilih: Jokowi atau Prabowo?
Sekarang mari ditelisik masing – masing pilihannya.
Kubu Prabowo-Hatta mengusung koalisi Merah Putih, yang terdiri dari Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, dan PKS. Koalisi Merah Putih ini adalah koalisi transaksional, dengan janji pembagian kursi menteri untuk setiap partai pengusungnya. Sangat mungkin Prabowo melakukan transaksi politik dengan SBY. Namun, SBY dan Prabowo memiliki jejak hubungan yang kurang baik di masa lalu. Pertama, SBY pernah digebuki oleh Prabowo ketika keduanya masih berada di AKABRI. Ketua Tim Investigasi TGPF (Tim Investigasi Pencari Fakta) Kerusuhan Mei 1998, Hermawan Sulistyo menuturkan hal ini penyebab SBY gengsi mendukung Prabowo. Hanya karena besannya menjadi cawapres, SBY akhirnya mendukung pencapresan Prabowo, meski tidak terlalu vulgar.
Kedua, SBY adalah salah satu diantara para jenderal yang menandatangi pemecatan Prabowo terkait pelanggaran HAM pada tahun 1998. Jika Prabowo menjadi presiden, bisa jadi Prabowo akan “balas dendam” kepada SBY.
Melihat fakta hubungan Prabowo dengan SBY, sebetulnya SBY lebih aman berada di sisi Jokowi. Sayangnya, Jokowi dikenal sebagai orang yang antikorupsi. Bila Jokowi yang menjadi presiden dan tetap berpegangan pada prinsip antikorupsinya, maka sudah pasti Dinasti Cikeas akan hancur. Dan Jokowi secara tegas mengatakan tidak akan melakukan politik transaksional, meskipun dalam praktiknya hampir tidak ada politik yang tidak transaksional atau politik berparadigma kritis.
Kini bola bukan berada di KPU atau Mahkamah Konstitusi, namun pada SBY. Tinggal SBY mau mengoper ke mana bola panas ini. SBY harus cari aman. Pengertian 'aman' di sini adalah jauh dari jerat KPK. Selama 10 tahun ini aman disebabkan KPK masih “terkendali”. Karena Prabowo dan terutama Hatta Rajasa sangat berkepentingan pula untuk mengendalikan KPK, kemungkinan besar SBY akan menggunakan kuasa politiknya terhadap KPU untuk memenangkan Prabowo. Jadi memilih Prabowo-Hatta adalah pilihan berbasis “rasionalitas, bukan hati nurani apalagi kenegarawanan.
Tapi tidak semua keputusannya berbasi rasionalitas. Bisa juga berbasis emosi. Prabowo bukanlah orang yang baik bagi SBY dan pernah menyakitinya. Apalagi Gerindra, partai Prabowo, selalu beroposisi dengan kebijakan pemerintah SBY selama 2009-2014. Jadi kita lihat saja SBY akan menggunakan yang mana, rasio atau emosi (hati nurani)? Meskipun pada akhirnya, tidak ada jaminan 100% siapapun presidennya SBY bakal duduk manis menikmati masa pensiun dengan tenang.
Sumber (diakses 15 Juli 2014):
- http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/10/269592017/Integritas-4-Lembaga-Survei-Pro-Prabowo-Diragukan
- http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/09/269591803/Jokowi-dan-Prabowo-Minta-Ketemu-SBY
- http://www.jpnn.com/read/2014/07/10/245321/Ketemu-SBY,-Prabowo-Adukan-Aksi-Kubu-Jokowi-JK-
- http://video.metrotvnews.com/play/2014/07/09/263579/usai-bertemu-sby-jokowi-tidak-usah-ada-pawai-di-jalan
- http://nasional.kompas.com/read/2014/07/09/21212921/Prabowo.Deklarasi.Kemenangan.Tak.Ada.Dasar.Hukum.Sama.Sekali
- http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2076578/sby-ada-yang-mengira-saya-punya-power-pengaruhi-hasil-pilpres
- http://www.gatra.com/pemilu-capres/53617-jokowi-sindir-politik-transaksionl-ala-prabowo-hatta-rajasa.html
- http://cibengnews.blogspot.com/2012/11/paradigma-kritis-dan-marxisme.html
- http://www.merdeka.com/politik/kursi-menteri-janji-manis-prabowo-hatta-untuk-hary-tanoe.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H