Lihat ke Halaman Asli

Wasik Maulana

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Apakah Teroris Beragama?

Diperbarui: 31 Maret 2021   19:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

"Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Semua ajaran agama menolak terorisme apapun alasannya," ucap Presiden Jokowi, minggu (28/3/2021) seperti dilansir Kompas.

Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Jokowi setelah adanya aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh pelaku pasangan suami istri L dan YSF di pintu masuk gereja katedral Makassar saat jemaat selesai melaksanakan ibadah Minggu. Peristiwa yang menewaskan kedua pelaku tersebut menyebar melalui media sosial dengan cepat. Masyarakat mengecam aksi tersebut, tidak terkecuali Presiden dan beberapa pejabat. Menurut Presiden, peristiwa tersebut tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Pernyataan yang terkesan denial itu seakan cuci tangan atas ketidak berdayaan pemerintah dalam menekan kelompok takfiri dan ekstremis.

Kapolri Listyo Sigit sendiri mengatakan bahwasanya kedua pelaku merupakan anggota daripada Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang memiliki peran untuk memberikan doktrin, kemudian mempersiapkan rencana untuk jihad dan juga berperan membeli bahan yang akan digunakan untuk digunakan sebagai alat untuk melakukan bom bunuh diri.

Ajaran-ajaran ekstremis dan fundamentalis sebagaimana tersebut bisa jadi bom waktu bagi pemerintah jika tidak serius dalam menyelesaikannya. Betapa tidak? Sejak dini mereka telah diajari untuk membenci orang dan kelompok yang berbeda dengan mereka. Bagi mereka, orang atau kelompok yang berbeda itu adalah kafir dan melakukan perbuatan bid'ah. Kelompok-kelompok ini disebut takfiri dan ekstremis. Disebut takfiri sebab siapapun yang berbeda dengan mereka, maka kafir hukumnya. Kelompok- kelompok ini beragama dengan sangat idealis, segala fenomena politik dan permasalahan umum hendaknya dikembalikan kepada Alquran dan Hadits. Mereka tidak mau mendengar selain apapun yang dikatakan Tuhan dan Rasulnya, dan mereka juga mengklaim bahwa Tuhan wajib memasukkan surga terhadap kelompok-kelompok ini dikarenakan telah menjalankan perintah-Nya.

Wajar saja jika beberapa orang yang bercita-cita mati syahid dalam agama dengan menyerang agama lain, percaya diri dalam melaksanakan aksinya, sebab pemerintah menganggap hal ini tidaklah berkaitan dengan agama. Toh, jika mereka mati, semua akan menganggap ini kejahatan kemanusiaan. Dan kelompok-kelompok yang mengadakan doktrin kajian akan bebas berdiskusi, merencanakan aksi lainnya, dan melakukan pengkaderan sejak dini dengan menanamkan kebencian terhadap kelompok yang berbeda dari ajarannya.

Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan kebencian dan permusuhan mungkin benar, namun salah dalam menafsirkan ayat-ayat Tuhan merupakan kenyataan yang terjadi di saat ini. Dalam kasus terorisme mana pun, pelaku selalu berlandaskan pada ayat-ayat atau perintah Tuhan dengan pemahaman yang keliru. Tidak hanya Islam saja, ekstremisme pun ada di setiap agama. Ekstremis Kristen yang membakar Alquran di Swedia, Ekstremis Yahudi yang membakar gereja di Israel yang diyakini oleh penganut Kristen dibangun di salah satu lokasi mukjizat Yesus hingga aksi terorisme ekstremis Hindu terhadap umat muslim di India merupakan beberapa contoh bahwa ekstremisme yang berkaitan dengan agama itu nyata adanya.

Ajaran agama yang menebarkan cinta dan kasih sayang itu salah ditafsirkan oleh orang-orang yang menginginkan kemurnian ajaran agama dengan menolak adaptasi kondisi zaman. Dalam konteks Islam, beberapa kasus pelaku teror menginginkan suatu kemurnian ajaran agama yang benar-benar berasal dari ayat-ayat Quran dan Hadits yang ditafsirkan menurut pandangannya sendiri. Jadi dalam pandangan mereka bahwa apapun yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul merupakan suatu perbuatan yang bid'ah dan sesat. Barangsiapa yang melakukannya maka halal darahnya, sebab telah keluar dari ajaran agama yang lurus.

Dr. Yusuf Qardhawi di dalam muqaddimah kitabnya yang berjudul Fiqh Maqashid mengatakan bahwa biang dari segala ekstremisme adalah literalisme beragama, mereka bisa dinamakan sebagai lulusan madrasatul zhahiriyyah al-judud atau al-harfiyyun wa syakliyyun, yakni sekelompok manusia yang tidak melihat kepada makna, substansi dan hakikat, namun lebih kepada bentuk. Mereka mengklaim sebagai ta'zhimun nushus (mengagungkan nash), dan mereka tidak butuh penjelasan dari seorang ulama sebab agama bukanlah dongeng yang berlandaskan pada pendapat seseorang. Sebagai contohnya mereka tidak menyimpan uang di Bank sebab Bank adalah sumber dari segala riba dan Bank bukanlah tempat yang diberkahi Tuhan menurut Alquran dan Sunnah Nabi. Atau pendapat mereka yang mengatakan bahwa demokrasi dan hukum buatan manusia adalah taghut dan halal darahnya untuk dibunuh merupakan cara beragama yang keliru dan mengancam keutuhan bangsa dan negara.

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid mengatakan terorisme tidak dapat dipisahkan dari sikap intoleran dan radikal. Pasalnya paham radikal fase menuju terorisme. Manifesto agama sebagai alat untuk saling membunuh itulah yang menjadi ancaman nyata dalam menghadapi era disrupsi ini. Pencarian Tuhan di media sosial dan belajar agama tanpa guru merupakan faktor fundamental terbentuknya paham yang ekstremis dan takfiri.

Tidak berlebihan bila menyebut pemerintah Indonesia tidak berdaya dan kurang tegas terhadap kelompok ini. Hasil survei yang dilakukan oleh Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)  menunjukkan bahwa 41 masjid di kantor pemerintahan sebar radikalisme dan kebencian. Ketua Dewan Pengawas P3M, Agus Muhammad menyampaikan survei tersebut dilakukan di 100 masjid kementerian, lembaga negara, dan BUMN pada saat salat Jumat. Indikasi radikalisme itu ditemukan dari materi khotbah salat Jumat yang disampaikan para khatib.

Selain itu, survei Badan Nasional Penanggulangan terorisme menyatakan bahwa 85% milenial rentan terpapar radikalisme. Hal tersebut dikarenakan cepatnya informasi yang tersebar melalui media sosial dan kurang bijaknya menyaring dan mengambil informasi melalui media sosial "Hasil survei tahun 2019 menemukan konten pendidikan kebhinekaan memiliki skor rendah dibanding dimensi lainnya," kata Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline