Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dinakhkodai tokoh senior Jimly Asshiddique, kemarin, menerima undangan Presiden Jokowi ke Istana Presiden dalam rangka ikhtiar mencari solusi terhadap berbagai permasalahan bangsa dewasa ini. Senada dengan kelompok-kelompok lain yang diundang Jokowi ke Istana, ICMI pun menengarai adanya masalah intoleransi yang mengkhawatirkan di negara ini.
Untuk itu, Jimly menyampaikan kepada Jokowi pentingnya pembentukan semacam forum kerukunan antar-umat beragama. "Kami menyampaikan pentingnya forum kerukunan umat beragama, religious harmony forum yang akan kami kembangkan bersama para cendekiawan lintas agama," ujar Jimly, seusai bertemu Presiden.
Pertanyaannya, bisakah forum semacam menyelesaikan masalah intoleransi yang saat ini terjadi di Indonesia? Sementara, jika kita mau jujur, intoleransi yang saat ini muncul lebih banyak dampak dari aktivitas politik, terutama jelang perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Bukan rahasia lagi bahwa dalam dunia politik, segala cara bisa dihalalkan demi meraih kemenangan.
Media sosial (medsos) adalah sarana kampanye poilitik yang menjadi idola jelang pilkada. Dan di medsos lah banyak hoax beredar, termasuk yang ditiupkan oleh oknum kelompok-kelompok pendukung calon yang bersaing di Pilkada DKI. Kalau mau jujur, harus diakui seperti itu!
Artinya, intoleransi yang kini marak terjadi bersifat politis!
Maka, solusinya adalah mengevaluasi tata kelola perhelatan pilkada. Pemerintah sebagai regulator harus belajar banyak dari kondisi saat ini, bahwa ke depan, harus ada penekanan misalnya pilkada tak boleh membawa-bawa sentimen suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dalam menggalang dukungan. Pelarangan itu harus tegas tertuang aturan main pilkada.
Jikapun pembentukan forum seperti yang diusulkan ICMI, maka konteks harus pada edukasi kepada pemilih. Pemilih harus diedukasi agar menolak segala bentuk kampanye atau penggalangan massa yang mengatasnamakan kelompok atau golongan tertentu. Pemilih juga harus diedukasi bahwa pilkada hanya lima tahun sekali, tetapi hidup rukun dengan tetangga yang berbeda keyakinan itu selamanya.
Jangan mau mengorbankan tetangga yang sudah sekian lama hidup dengan kita, hanya karena soal memilih politikus lima tahun sekali. Jikapun harus memilih maka tekankan bahwa semua ornag punya pilihan masing-masing dan harus saling menghargai. Be wise! (WK)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H