Lihat ke Halaman Asli

Jokowi Sedang “Bersihkan” Orang-orang SBY?

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14247617541054508313

[caption id="attachment_352783" align="aligncenter" width="400" caption="Kepala BIN Marciano Norman (kanan) bersama TB Hasanudin dan Mendagri Tjahjo Kumolo. (sumber foto: antaranews.com)"][/caption]

Isu pergantian “orang-orang” mantan Presiden SBY oleh Presiden Jokowi masih terus bergulir. Saat mantan Kapolri Jenderal Sutarman diberhentikan Jokowi, isu ini juga mencuat. Kini, seiring dengan banyaknya pekerjaan dan perubahan di berbagai bidang oleh pemerintahan Jokowi, isu tersebut kembali muncul.

Namun demikian, Jokowi sendiri dengan membantah isu tersebut. "Tidak ada itu istilah ‘Pembersihan orang-orang Bapak SBY.’ Kita tidak sedang mengalami ‘Patahan Politik,’ juga tidak sedang dalam pertempuran antar generasi, justru sekarang ini perjalanan tatanan pemerintahan dilakukan secara gradual dan juga memperhatikan benang merah segala kebijakan," kata Jokowi seperti dikutip dari Kompas.com.

Sebelumnya mantan Presiden SBY juga mencoba mematahkan isu tersebut dengan menyatakan ada pihak yang ingin memanas-manasi hubungannya dengan Jokowi. SBY mencontohkan, "Jenderal Polisi Sutarman dipersepsikan sebagai orangnya SBY dan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai orangnya Megawati. Untuk diingat, kalau Pak BG dinilai dekat dengan Megawati karena mantan ajudannya, maka Pak Sutarman adalah mantan ajudan Gus Dur. Bukan mantan ajudan SBY."

SBY ingin menekankan bahwa tuduhan “si A orangnya si anu, dan si B orangnya si anu” adalah tidak akurat dan cenderung fitnah.

Isu yang sama dialamatkan kepada kepala BIN

Isu yang sama juga dialamatkan kepada lembaga intelijen, BIN. Belakangan banyak pengamat dan malah juga anggota DPR menyatakan desakan agar Jokowi segera mengganti Letjen (purn.) Marciano Norman. Salah satu alasannya karena Marciano adalah “orangnya” SBY. Marciano memang mantan Danpaspampres di era SBY, tetapi mencopotnya karena alasan itu adalah tidak etis. Jokowi tak boleh mendasarkan kebijakannya di atas komentar-komentar tak berdasar.

Pendapat-pendapat yang mengidentikkan Marciano sebagai “orangnya” SBY juga seolah hendak mengatakan bahwa BIN di bawah Marciano tidak tunduk kepada Presiden Jokowi. Selanjutnya tidak mungkin BIN dianggap berprestasi di bawah Marciano. Padahal jika kita lihat secara kasat mata saja, Indonesia 10 tahun terakhir ini sudah jauh lebih aman dari ancaman-ancaman teror, misalnya, yang mengganggu stabilitas nasional. Bukankah itu juga salah satu prestasi BIN di bawah Marciano?

BIN juga dinilai oleh sebagian pengamat independen, sudah melakukan reformasi organisasi. BIN melaksanakan tugas dan fungsi seperti yang diamanatkan Undang- Undang (UU) Intelijen, yaitu sebagai pengumpul data dan analisis yang kemudian diserahkan kepada presiden sebagai pengguna. Mulusnya transisi pemerintahan dari Presiden SBY ke Presiden Jokowi menjadi salah satu catatan positif kepemimpinan Marciano Norman di BIN.

BIN masih seperti di era Orba?

Namun demikian sebagian pihak tak melihatnya demikian. Anggota DPR, TB Hasanuddin, yang juga katanya salah satu kandidat kepala BIN, mengatakan kinerja BIN saat ini masih seperti zaman Orde Baru (Orba). Menurutnya, aksi mahasiswa masih dianggap sebagai tindakan ekstrimis yang menentang pemerintah dan perlu ditindak. Hal seperti itu, ujarnya, perlu diubah oleh Kepala BIN yang baru nanti.

Pendapat TB Hasanudin tersebut sangat disayangkan karena tidak berdasar. Setidaknya saya sebagai masyarakat awam tak pernah tuh mendengar BIN menangkapi mahasiswa atau aktivis. Bukankah terakhir ramai itu kasus BIN soal Munir? Itu kan di era pemerintahan Megawati, sebelum ada UU Intelijen yang menjadikan BIN lebih profesional seperti sekarang ini!

Sementara itu, Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menyoroti aksi kekerasan dan intoleransi yang terjadi dalam 10 tahun terakhir menjadi catatan khusus bagi kinerja BIN di bawah Marciano. Sayangnya, Poengky pun tak membuktikan secara detil bahwa BIN tak mewanti-wanti soal potensi-potensi intoleransi itu.

Intinya, ini bukan hanya soal BIN, selayaknya Presiden Jokowi tak mengganti pejabat-pejabat negara dengan berlandaskan pada semangat bersih-bersih “orangnya SBY.” Selayaknya Jokowi mengganti pejabat, semisal kepala BIN, berdasarkan keperluannya. Kepala BIN ya harus orang yang cakap di dunia intelijen, tak lebih dan tak kurang. Bukan karena orangnya SBY, orangnya Jokowi atau orangnya siapa.

Dalam konteks ini, tidak mengganti kepala BIN pun bisa dijadikan pilihan! Kalau dinilai sudah baik kinerjanya, apakah ada keharusan untuk tidak dilanjutkan? Kan tidak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline