Lihat ke Halaman Asli

Wartini Sumarno

Penikmat Kopi

Belajar Keadilan Gender bagi Aktivis Kampus Itu Omong Kosong

Diperbarui: 8 Mei 2024   09:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar:https://dp2pa.luwuutarakab.go.id

Bagi seorang mahasiswa yang aktif di organisasi kemahasiswaan terlebih organisasi eksternal yang berbasis nasional seperti HMI, PMII, IMM, GMKI, PMKRI, GMNI, dan KAMMI pasti sudah tak asing dengan kajian keadilan gender dan feminisme, apapun sebutannya yang jelas saya yakin dalam setiap organisasi tersebut pasti ada bidang atau departemen khusus keperempuanan.

Seperti di HMI yang ada Kohati, di PMII ada Kopri, Immawati di IMM, juga organisasi lainnya yang sadar akan keadilan gender, pasti ada wadah khusus untuk pengembangan potensi perempuan, meski sesekali ini juga menimbulkan perdebatan. Bahwa pembentukan bidang khusus perempuan dianggap bentuk ketidaksetaraan terhadap perempuan sendiri, karena seharusnya baik laki-laki maupun perempuan berkreativitas dalam wadah yang sama dengan kesempatan yang sama.

Untuk menjaga keberlangsungan regenerasi organisasi maka, lumrah diadakan yang namanya kaderisasi, seperti di PMII namanya MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru), kaderisasi ini dilakukan mulai dari tingkatan rayon (fakultas) hingga komisariat (kampus). Untuk jenjang atau tingkatan kaderisasi di PMII sendiri ada empat tahapan, yaitu Mapaba, PKD (Pelatihan Kader Dasar), PKL (Pelatihan Kader Lanjutan) dan PKN (Pelatihan Kader Nasional).

Faktanya, dalam setiap proses kaderisasi baik yang diadakan oleh organ internal maupun organ eksternal mengenai pengamalan keadilan gender itu omong kosong. Berdasarkan pengalaman saya sendiri di kampus saya yaitu kampus Untirta, setiap ada kegiatan yang selalu menjadi panitia konsumsi adalah perempuan, jarang laki-laki dimasukan dalam seksi komsumsi seringnya mereka di bagian Pubdekdok, logistik, humas, sekretaris dan ketua pelaksana.

Sehingga urusan perperutan dan perdapuran tetap saja perempuan, terlebih jika di organisasi eksternal yang seringnya kekurangan dana, maka sebagian besar untuk konsumsi tidak selalu cukup untuk membeli nasi bungkus, jadi seringnya membeli bahan mentah dan memasak sendiri oleh panitia konsumsi. Sudah jelas kan siapa yang "dipercaya"? tentu saja anggota perempuan.

Ironisnya, ketika sebagian kecil perempuan sibuk masak, badan keringetan, baju bau bawang, muka berminyak, disebelah ruangan, tengah berlangsung materi studi gender, tapi ternyata itu hanya sebatas materi saja tapi tidak pada tahap implementasi, wong ketika ada para senior saja yang datang sebagai tamu undangan dan yang membuat kopi masih juga perempuan yang "diminta" tolong.

Sementara para laki-laki? wah mereka sibuk menemani "ngobrol" para senior. Sesekali sambil "ngecap" ke senior yang sudah jadi Anggota Dewan misalnya, siapa tahu ada proyekan kecil-kecilan dan bisa di ajak. Kebanyakan ingin tampil di depan layar, karena bisa terlihat. Jarang yang mau di tempatkan di belakang, bahkan seringnya mereka yang di dibelakang ini memang tidak dikenali, padahal yang paling banyak kerja-kerja justru mereka inilah.

Saya sendiri termasuk orang yang tidak terkesan jika ada senior atau sesama anggota yang punya kedudukan tertentu katakanlah Ketua Bem fakultas atau bahkan Ketua Bem Kampus (Presma), atau senior yang telah jadi Pejabat Politik, jadi ASN di Kementerian Pusat misalnya.

Karena jika tolak ukur sense of belonging terhadap organisasi itu adalah seberapa mereka mau berkorban untuk organisasi yang jelas bukan soal materi semata tapi juga kehadiran untuk berjuang bersama. Sedangkan mereka yang hanya hadir di saat momen tertentu saja (special moment) maka saya tidak terkesan sama sekali.

Belum lagi soal jaringan atau link dari para senior yang biasanya hanya memilih orang-orang yang kebanyakan ngecap di depan padahal tidak ada kerjanya di organisasi, mereka adalah yang hadir saat momen penting saja, tapi tidak mau ikut mengurus organisasi, merawat kader, menjaga keharmonisan antar anggota, bahkan pekerjaan yang dianggap sepele seperti melipat surat undangan dan mengantarkan surat undangan saja mereka tidak pernah dan tidak mau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline