Salah satu jenis bacaan yang paling saya sukai adalah membaca novel, karena bacaanny lebih ringan meski banyak juga novel "berat" seperti karya-karya Eka Kurniawan, Ayu Utami, Pramoedya Ananta Toer yang memang lebih sering mengangkat isu sosial-budaya dalam masyarakat. Untuk karya Barat ada novel-novelnya Ernest Hemingway, bagus sekali karena mengangkat isu-isu kaum yang termarjinalkan dan proletariat kalau kata anak kiri.
Disini, saya ingin berbagi kesan-kesn saya membaca novel-novenya Abidah El Halieqy, salah satu novelis perempuan yang konsen menulis tentang keperempuanan, ya bisa dibilang fatima mernissinya Indonesia. Dan memang dalam salah satu wawancaranya Abidah mengakui bahwa dia terinspirasi dari Feminis Maroko tadi juga almarhumah Nawal El Shadawi, penulis dan feminis asal mesir.
Walaupun menurut saya pribadi, tetap ada perbedaan antara ketiganya, mungkin ini juga berdasarkan latar belakang pengalaman dari mereka. Fatima Mernissi dn Nawal El Shadawi cenderung lebih radikal menurut saya, apalagi mengingat pengalaman pahit Nawal sendiri yang kala itu pernah dipenjar karena ketajaman tulisannya dalam mengkritik kemapanan (kondisi sosial-budaya Mesir kala itu) yang menempatkan perempuan sebagai kelas kedua.
Perlakuan terhadap perempuan yang ditempatkan sebagai secon class dalam dunia Timur-Tengah sudah lumrah, baru kali ini saja Arab Saudi mulai secara perlahan memberikan kelonggaran dengan mencabut beberapa peraturan yang sebelumnya mengekang kaum perempuan, yang mana bahkan untuk bisa mengenderai mobil sendiri saja tidak boleh.
Terlebih dengan diterbitkannya buku Titik Nol yang ditulis oleh Nawal hasil dari wawancaranya dengan seorang pekerja seks komersil yang telah mengalami tindak kekerasan, kejahatan seksual hingga dia terpaksa melakukan pembunuhan sebagai upaya membela diri walau berakhir dipenjara. Membuat Nawal semakin lantang dalam bersuara, melalui tulisan-tulisanya yang tajam dalam mengkritik pemerintahan Mesir kala itu.
Kembali lagi kepada Abidah E Halieqy, meski novel-novelnya juga mengangkat tema keperempuan yang seringnya mengambil latar belakang pesantren, tapi tidak sevulgar Nawal dan Fatima saya rasa. Walaupun memang pada dua novel yang berjudul Perempuan Berkalung Surban dan Akulah Istri Teroris memang menimbulkan reaksi penolakan yang berujung demonstrasi dari beberapa pihak, karena dianggap melecehkan ulama.
Untuk memahami sebuah karya terutama sastra dalam hal ini adalah novel, maka pertama kita harus mengetahui juga pengalaman sosial, pengalaman intelektual juga pengalaman spiritual penulisnya. Ini membantu kita untuk menganalisis secara komprehensif sudut pandang penulis melalui tulisannya itu. Abidah sendiri berdasarkan data hasil riset google yang saya peroleh, dia seorang santriwati dari pesantren Persis. Tentunya ini pula salah satunya kenapa Abidah banyak mengambil latar pesantren. Karena dia sangat dekat dengan lingkungan itu. Walau tentunya jika Abidah mondok di pesantren bercorak NU atau pesantren bercorak Muhamadiyah pasti beda pula pengalaman sosial, kultural, pemikiran yang Abidah dapatkan.
Namun sejauh saya pernah membaca karya-karyanya seperti Perempuan Berkalung Surban, Geni Jora, Mataraisa, Nirzona, Bait-Bait Multazam, Di Atas Singgasana dan Akulah Istri Teroris, hampir seluruhnya saya menyukai karakter perempuan yang menjadi peran utama dalam penokohan setiap novelnya. Tentunya semua perempuan dalam novel-novel tadi mempunyai latar belakang permasalahan yang berbeda walau temanya tidak jauh dari gugatan terhadap budaya patriarki juga tuntutan akan keadilan gender.
Sebagai contoh dalam novel Geni Jora, meski secara keseluruhan agaknya Kejora ditampilkan sebagai sosok yang kelewat sempurna, karena selain cantik juga cerdas luarbiasa hanya saja sial secara kondisi karena lahir dilingkungan yang menjunjung patriarki. Tapi, pribadinya yang tangguh dalam menghadapi Zakky Hedouri, harus saya akui elegan sekali. Yaitu dengan menolak untuk tunduk tanpa perlawanan. Perlawanan dalam hal apa? monggo baca sendiri novelnya.
Pun begitu dengan perempuan-perempuan dalam novelnya yang lain, itulah yang membuat saya menyukai karya Abidah.
Terakhir, saya kutip prolog dalam novel Geni Jora: "Siapakah perempuan? Barisan kedua yang menyimpan aroma melati kelas satu. Semesta alam terpesona ingin meraihnya, memiliki dan mencium wanginya. Tetapi kelas dua? Siapakah yang menentukan kelas kelas, sehingga laki-laki adalah kelas pertama?"