Lihat ke Halaman Asli

Wartini Sumarno

Penikmat Kopi

Dilema Usia Wajib Menikah Bagi Perempuan

Diperbarui: 25 April 2023   08:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perempuan bercengkerama, persahabatan perempuan. (sumber: DragonImages via kompas.com)

Sejujurnya terkadang saya merasa iri kepada kaum laki-laki, salah satu diantaranya mereka tidak dikejar "jam biologis" dan tidak mendapatkan lebeling "perjaka tua". Ketika sudah mencapai usia yang dipandang cukup untuk menikah menurut standar umum masyarakat.

Betapa terkadang bagi saya sendiri, perkawinan bisa menjadi momok yang menakutkan. Bahwa, menikah tidak hanya sekedar menggabungkan dua insan dan berpadunya dua keluarga, tidak. Ada begitu banyak indikator dan pertimbangan terutama bagi perempuan.

Bukan hanya perkara nafkah lahir dan batin. Atau perihal mapan tidaknya calon pasangan demi sebuah jaminan masa depan secara ekonomi. Tapi juga jaminan rasa aman secara psikologis bahwa perkawinan bisa membawa kebahagiaan misalnya.

Kadang saya bertanya tujuan pernikahan itu apa sih? Kita kesampingkan dulu dalil-dalil agama karena itu jelas sudah status quo. Misal, menikah karena cinta lalu bagaimana ketika sepuluh tahun kemudian rasa cinta itu memudar?

Berarti alasan untuk tetap bertahan dalam ikatan perkawinan sudah hilang. Ada juga alasan untuk melanjutkan keturunan, lalu bagaimana jika pihak perempuan mandul? 

Maka hilang pula alasan untuk tetap bertahan dalam ikatan sehingga dijadikan pembenar ketika laki-laki melakukan poligami. Jadi, apa tujuan pernikahan itu?

Betapa kadang perempuan mengalami banyak ketidak-adilan dikarenakan tidak hanya menanggung beban biologis tapi juga beban sosial. Yang artinya usia 28 masih lajang sama dengan warning (siap menyandang lebel perawan tua) dan juga "katanya peluang cepat memiliki anak semakin kecil". Ditambah, laki-laki cenderung mencari pasangan dengan usia yang lebih muda.

Sementara itu, ada impian-impian yang ingin diraih dan dituntaskan yang belum lunas meski usia sudah memasuki 25 tahun. 

Inilah yang kemudian dengan terang dikuatkan oleh Ihsan Abdul Qudddus melalui bukunya "Aku Lupa bahwa Aku Perempuan", seolah ingin mengafirmasikan bahwa sulit bagi perempuan untuk berhasil dalam dunia publik ketika dibebani dengan berbagai beban domestik.

Sehingga perempuan dipaksa memilih antara menjadi "ibu rumah tangga atau wanita karir". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline