Lihat ke Halaman Asli

Kang Warsa

Sering menulis budaya, filsafat, dan kasundaan

Tritangtu dan Harmoni Kehidupan

Diperbarui: 20 Januari 2016   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tritangtu dalam Budaya Sunda merupakan sebuah konklusi-meditatif yang telah dicetuskan oleh para leluhur atau karuhun Sunda. Totalitas dalam kehidupan merupakan ciri utama konsep ini. Pembagian masyarakat menjadi tiga kelompok dilakukan bukan untuk membedakan melainkan untuk meneguhkan posisi dan jati diri setiap individu. Resi, Rama/Sepuh, dan Ratu menjadi  tiga lembaga , berperan dalam mensejahterakan masyarakat; Ngaping, Ngajaring, Ngaheuyeuk. Ngasah, Ngaasuh, dan Ngaasih.

Pola budaya seperti ini lahir sebagai pengejawantahan kebersamaan dan persamaan manusia dengan kosmos (alam raya). Manusia Sunda bisa dikatakan sebagai kelompok tradisional, dikatakan seperti itu memang wajar karena secara historis, akar kebudayaan dan peradaban dunia ini berasal dari satu sumber dan ajaran, sebagai software di alam semesta ini. Software atau perangkat lunak akan dikatakan sebagai perangkat lunak terpercaya ketika ada kesinambungan antara hardware (Kosmos) dengan software-nya (Mikro-kosmos). Jika terjadi benturan atau konflik, maka sudah bisa dipastikan keharmonian semesta akan berubah menjadi anomik.

Durkheim menyebutkan dalam teori ‘Bunuh Diri” atau Suicide, penyebab utama lahirnya masyarakat anomi adalah hilangnya atau berubahnya nilai-nilai harmoni antara diri manusia dengan semesta dan lingungan sekitar. Bisa dipastikan, masyarakat anomi atau masyarakat menyimpang lahir karena paksaaan yang berada di luar dirinya ketika manusia ingin menjadi dirinya sendiri. Ciri utama masyarakat anomi adalah adanya kesenjangan antara kapasitas dirinya dengan paksaan yang ada di luar dirinya sendiri.

Masyarakat modern dipersatukan oleh sebuah solidaritas karena dipaksa oleh apa yang ada di luar kapasitas dirinya. Misalkan, lahirnya kelompok-kelompok atau geng-geng dalam kehidupan tidak ditentukan secara alamiah bahwa manusia menyukai kelompok-kelompok tersebut melainkan dipaksa untuk mengikuti dan menjadi bagian dari mereka. Maka, jika paksaan dari luar ini lebih kuat dari moralitas individu, cara sederhana akan dilakukan, bunuh diri atau membangun klandestin yang siap memerangi bahkan menghancurkan diri sendiri sebagai bentuk protes terhadap kelompok lain.

Pemikiran Durkheim berbanding lurus dengan Marx yang menyebutkan, sejarah dan kehidupan manusia dibentuk oleh pertentangan kelas. Diferensiasi dan stratifikasi sosial yang terjadi di masyarakat secara alamiah akan terus bertolak-belakang satu sama lain, lahir in-harmoni, chaos, perang, pertikaian, dan puncaknya adalah Survival for the fittest dalam teori Darwin, hanya kelompok unggul yang akan tetap bertahan. Secara umum, tiga pemikiran tokoh-tokoh tersebut; Drukheim dalam Division of Labour, Marx dalam Social Conflict, dan Darwin dalam Struggle for Life mengukuhkan bahwa kehidupan lahir karena adanya pertentangan. Tidak salah, kehidupan modern akan terus dihinggapi oleh landasan berpijak seperti ini.

Sementara pandangan utama dalam konsep tritangtu adalah lahirnya keharmonian karena pada dasarnya manusia berasal dari satu sumber yang sama. Adanya totalitas dan kesinambungan manusia yang dengan yang lain, hilangnya diferensiasi berdasarkan subyektivitas diri, dan lahirnya kemanunggalan kehidupan dalam masyarakat. Kesadaran bahwa manusia tidak berbeda dengan semesta mengharuskan manusia pun menghormati alam dan manusia lainnya. Rakean Dharmasiksa, dalam Naskah Amanat Galunggung menyebutkan, pentingnya manusia Sunda menghargai nilai-nilai historis atau masa lalu sebagai pijakan untuk melangkah saat ini. Hana nguni hana mangké, ada dahulu dan ada sekarang. Jika dielaborasi lebih jauh, masa kini tidak terlepas dari masa lalu.

Akar historis semesta dan kehidupan ini berjalan secara harmoni sesuai dengan kehendak Sang Maha Pencipta. Maka, dalam naskah Amanat Galunggung tersebut, Dharmasiksa begitu kuat menyebutkan bagaimana semestinya manusia hidup dalam kehidupan ini agar tetap selaras dan harmoni. Konflik dan peperangan merupakan hal tabu dalam masyarakat yang memegang teguh tritangtu sebab kepastian yang lahir dalam kehidupan masyarakat seperti itu adalah kesejajaran yang dipersatukan oleh fakta subyektif bahwa manusia membutuhkan orang lain bukan dengan cara paksaan namun memang sudah alamiah.

Struggle for life, perjuangan dalam tritangtu tidak hanya berhenti pada hal homogen dan tunggal. Tidak sekadar melampiaskan hasrat penguasaan atau dominasi, sebab dominasi terhadap apa pun akan menghilangkan keharmonian dan kesejajaran antara -manusia-alam. Tritangtu , tiga adegan dalam hidup ini menyebar secara sporadis pada beberapa milyar tahun lalu. Proses turbulensi sosial yang terjadi selama kurun waktu tersebut mengakibatkan konsep atau software orisinal dari tritangtu berubah, berganti nama hingga membentuk menjadi ajaran dalam bingkai teologis; trinitas Mesir Kuno (Ra, Osiris, Isis), trinitas Arab Kuno (Latta, Uzza, Manaat), trinitas Hebrew (Yahweh, Jahbulon, Elohim), trimurti Hindu (Brahma, Wisnu, Shiwa). /*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline