Lihat ke Halaman Asli

Kang Warsa

Sering menulis budaya, filsafat, dan kasundaan

Puasa di Socmed

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tanpa sengaja, Saya membaca sebuah status singkat dalam facebook. Konon, pada bulan Romadhon tahun ini, intensitas para pengguna socmed lebih sedikit menyoal hal ihwal yang ada hubungannya dengan puasa. Status-status lebih banyak diisi oleh dua genre besar; piala dunia dan pilpres.

Ya, terserah orang mau menulis status apa saja. Apalagi bagi orang-orang di kampung, menuliskan ‘ Saya sedang berada di WC’ pun dalam sebuah status dianggap hal wajar. Intinya ingin memberitakan dan memberitahukan kepada khalayak, bahwa dia sedang eksis-eksisnya di dunia maya. Orang bisa dengan mudah menjadi seorang seleb di jaman ini, ingat kasus ‘keong racun’ dan ‘polisi Norman Kamaru’?. Tapi tetap saja dipengaruhi besar oleh HOKI, keberuntungan, bagi kaum relijius itu adalah ketetapan Sang Maha Kuasa.

Mengendurnya status-status yang berhubungan dengan puasa di bulan suci ini bukan tanpa sebab. Pertama, bukan karena jenuh membicarakan korma, taraweh, atau tadarus, kecuali memiliki anggapan akan lebih ngetrend menyoal masalah-masalah yang sedang hangat diperbincangkan oleh masyarakat global seperti World Cup di Brazilia. Ketika tidak membicarakan hal-hal global pun, pengguna socmed akan lebih memilih menuliskan topic-topik nasional, pilpres misalkan.

Hal ini pun dialami oleh Saya sendiri, pada bulan puasa tahun lalu, Saya hampir menulis dua puluh catatan tentang puasa di kampung, sangat nostalgia memang. Untuk tahun ini, hingga sekarang, Saya hanya baru menulis lima catatan saja, itu pun dalam bahasa Sunda. Ini penting Saya selidiki, bukan karena bosan menulis atau kehilangan tema dalam sebuah tulisan, ternyata hal ini dipengaruhi juga oleh adanya hembusan iklim global dari Brazilia dan pilpres dari dalam negeri ini.

Kedua, para pengguna socmed telah memilih untuk menjadi bagian dari kehidupan kelas urban. Oke lah, membicarakan rujak kolang-kaling atau cendol merupakan kategori penulisan status orang-orang rural. Ya, status harus keren sedikit lah dari mereka, masa orang lain membicarakan piala dunia dan pilpres, ini malah membahas cara membuat rujak kolang-kaling, itu tidak elok namanya.

Dalam nada guyonan, beberapa teman menulis dan mengupload photo-photo para pemain bola sepak kelas dunia. Bambang Pamungkas dan Timnas sedikit terbengkalai. Para pemain bola diilustrasikan dengan berbagai bobot candaan. Yang paling kentara adalah kesebelasan Portugal dan Inggris dihumorisasikan tiada ampun karena kegagalan mereka dalam menembus ke babak selanjutnya di piala dunia.

Nah, menjelang memasuki bulan puasa, ramai-ramailah orang memosting dan mengupload photo-photo pilpres, sebab masa kampanye bertepatan dengan bulan Romadhon. Dua pasangan calon disejajarkan dalam satu panggung parodi lewat gambar sebagai Boy Band. Ini lebih mulia sebetulnya dari orang-orang yang mengupload photo sarkastik dan bernada fitnah. Sungguh terlaluuu..

Piala dunia berakhir paska pemungutan dan penghitungan suara tingkat KPPS dan PPS. Di kota-kota besar ramai memang orang mengadakan nonton bareng. Namun, fokus terhadap kemenangan Jerman atas Argentina tidak begitu kental, orang hanya memosting tulisan dan photo-photo nyinyir seorang Messi menginginkan pertandingan ulang, ada juga photo-photo yang disandingkan pada dua TV corong pasangan calon, TVOne dan Metro TV. Intinya, bangsa ini memang senang berkelakar dari sekadar menghembuskan kampanye hitam atau negatif.

Apakah kondisi ini menjadi pertanda bahwa nilai spiritual manusia Indonesia telah terkalahkan oleh nilai-nilai material dan sekular? Tentu tidak, selera humor dan guyonan bangsa ini diilhami oleh tingginya nilai spiritual manusia. Di negara-negara maju dan penganut madzhab positivisme, candaan dan kelakar biasanya ditempatkan pada habitatnya, di negara ini apa pun bisa menjadi candaan. Hanya di negara ini, orang-orang bisa menyulap dalam sebuah gambar bahwa Jerman dibantai oleh Brazilia pada pertandingan semi final lalu. Di negara lain, bisa jadi ada, namun itu akan dianggap sesuatu yang sangat pandir dan bodoh.

Tentu saja, meskipun adegan-adegan humor dalam status di socmed sering digunakan, bukan berarti orang-orang di negara ini lantas kehilangan nilai ibadah puasa mereka. Nah, entah kalau postingan-postingan tersebut lebih mengarah kepada fitnah, sebagai pengikut Soneta Grup, Anda bisa menilai sendiri, ibadah puasa akan berkurang nilainya.

Memang , dua bulan terkahir ini, Saya pikir sebagai bulan yang dipenuhi oleh purbasangka. Saya memandangnya positif saja, ini menandakan bahwa orang-orang di negara ini sangat peduli pada negaranya, meskipun agak berlebihan. Seperti halnya seorang teman memberikan alas an; “ Aku membuat status-status tentang calon A seperti ini habis berbuka puasa hingga sahur, jadi nilai puasaku akan tetap utuh.” Rupanya dia mengira puasa hanya seharian saja.

Itulah uniknya hidup di Negara ini. Penting sekali bagi kita membuka kembali buku-buku kuno seperti Sutasoma yang mengisahkan Kebhinekaan di negeri ini, agar kita mengerti bahwa negara ini dibangun di atas landasan keberagaman bukan keseragaman. Tidak sulit hidup di negara ini sebetulnya, tinggal kita mengetahui akan ke mana arah angin berhembus. Ya, jika berani melawan arus, Anda harus menyiapkan tenaga dan bahan kabar cadangan. (*)

KANG WARSA




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline