Lihat ke Halaman Asli

Kang Warsa

Sering menulis budaya, filsafat, dan kasundaan

Menteri

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Photo:jpnn.com Pengangkatan seorang menteri di negara ini – sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan – merupakan hak prerogatif presiden. Dalam iklim demokrasi yang telah membuka kemerdekaan berpikir, bersikap, dan mengemukakan pendapat, presiden – terlepas dari kekurangan fisik dalam pandangan umum – merupakan bayi yang dilahirkan dari sistem demokrasi pancasila. Yang bisa menggugurkan hak-hak presiden sudah tentu ketika sang presiden melakukan tindakan yang berseberangan dengan nilai-nilai pancasila. Wacana - nyinyir – saat ini adalah ketika presiden mengangkat seorang lulusan SMP, bertatto, dan perokok menjadi seorang menteri. Sikap nyinyir ini memberi tanda baik sebetulnya, demokrasi dalam hal kebebasan mengemukakan pendapat sedang dan tetap berlangsung di negara ini. Namun, jika melihat kepada nilai-nilai dan falsafah kepancasilaan, sikap nyinyir sama sekali tidak memiliki dampak positif apa pun. Ketika pandangan didahului oleh sikap nyinyir dan sinisme berlebihan menurut ukuran logika; ada kecemburuan berlebihan terhadap kondisi yang baru saja terjadi. Lulusan SMP menjadi menteri bukan sebuah pertanda aturan main yang berlaku di negara ini telah hancur. Sebab jika melihat kepada beberapa fakta yang terjadi di dunia pendidikan kita, apalagi jika sudah membicarakan kualitas, terlihat perbedaan mencolok antara lulusan SMP tahun 60-70an dengan lulusan SMP sekarang. Negara kita, satu dekade sebelum kerumtuhan orde baru telah terjebak ke dalam penyakit pendidikan paling akut; diploma desease, pekerjaan dan berbagai bidang professional selalu harus dipegang oleh orang-orang lulusan sekolah tinggi. Bagi masyarakat yang hanya lulusan SD meskipun memiliki kecakapan dan kompetensi, tidak ada tempat untuk menempati posisi-posisi strategis. Ini jebakan pendidikan di negara ini. Kondisi seperti ini merupakan fenomena di negara-negara pasca kolonialisme yang mengarah kepada neo-kolonialisme. Altbach memberikan pandangan; kondisi neo-kolonialisme begitu teramati dengan telanjang justeru di dunia pendidikan di negara-negara pasca colonial. Sistem kelembagaan pendidikan kolonial berikut perangkat kurikulum, pola manajemen pendidikan, pola penyediaan guru-guru dan dosen-dosen serta orientasi pendidikan tetap menjadi acuan utama para kalangan terpelajar dan birokrat pendidikan. Industrialisasi sistem pendidikan semakin mencemplungkan negeri-negeri pasca-kolonial ke dalam cengkeraman kaptalisme global yang sepertinya tak pernah terpuaskan. Karena itu, bersama bagian-bagian Dunia lain, negeri-negeri pasca-kolonial sudah terseret dan terjerat dalam proses tsunami globalisasi (Held., 1999) yang menyapu bersih semua sumberdaya, strategis ataupun tidak strategis, ke suatu suatu muara perubahan yang kian mengikis kemandirian dan jatidiri suatu bangsa. Seluruh dunia sudah tergenggam dalam tangan segelintir eksekutif bisnis dalam ruang-ruang manajemen tertutup yang samasekali tidak demokratis (Hertz, 2003) berkat jasa jaringan digital global dalam perangkat telpon cerdas-genggam (smart hand-phone) mereka (Castells, 2000). Alih-alih rakyat yang semakin cerdas kehidupan berbangsanya, justeru telpon genggam dunia yang kian cerdas. Masih adakah celah tersisa bagi Ilmu pengetahuan dan para ilmuwan untuk berkiprah mencerdaskan kehidupan bangsa mereka ? Mengapa sesudah lebih setengah abad merdeka dengan 6 presiden (sekarang 7 presiden), negara dan kepala pemerintahan tetap tidak mampu mendaratkan dalam kenyataan hidup berbangsa Aline 4 dari UUD 1945. Jangan-jangan kegagalan mereka, dan sekaligus kegagalan kita semua, bukanlah karena kehampaan niat tulus dan keseriusan usaha tetapi lebih karena kita semua terjebak dalam lingkaran struktural yang tak berujung, apalagi solusi, jalan keluar. Diangkatnya Susi Pudjiastuti menjadi menteri Kelautan dan Perikanan oleh Presiden Jokowi, bagi Saya merupakan pukulan bagi dunia pendidikan di negara ini. Pukulan sebagai bentuk penyadaran dan re-orientasi terhadap tujuan pendidikan asal. Pendidikan yang mampu membawa manusia Indonesia kepada dunia kehidupan yang benar dan seutuhnya, tidak memiliki pandangan nyinyir terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah namun memberikan pandangan solutif terhadap kebaikan negara ini. Sebab, bagi siapa pun yang telah berhasil meraih pendidikan – apalagi telah lulus sampai perguruan tinggi - akan lebih mengedepankan etika dan estetika dalam menghargai kehidupan dan apa pun yang terjadi di negara ini. Sebagai seorang guru, Saya tidak memiliki pretensi apa pun – apakah telah terjebak mendukung Jokowi atau Prabowo -, sebab selalu ada rahasia tersembunyi dan hikmah terdalam dari berbagai peristiwa di dalam kehidupan ini. Jokowi menjadi pemenang dalam pilpres 2014 memiliki pesan dan sinyal baik; kehidupan ini tidak akan didominasi oleh kuantitas yang disangkakan oleh kita. Prabowo tidak pernah kalah dalam kehidupan ini, kedatangannya saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di DPR menjadi tanda bahwa beliau merupakan manusia berjiwa besar. Ketika mereka berdua – Jokowi dan Prabowo – telah menjadi manusia-manusia berjiwa besar, telah berhasil meluluskan diri mereka di Sekolah Kehidupan ini. Mengapa kita masih terjebak dalam baku hantam berkepanjangan, berdebat opini seolah merasa paling benar, bersikap nyinyir kepada orang atau kubu lain. Sampai terhadap diangkatnya Susi Pudjiastuti hanya karena lulusan SMP pun dipersoalkan –seolah – tidak berkesudahan. Padahal Susi telah membuktikan, hanya dengan bersekolah di "Sekolah Kehidupan" lah manusia akan benar-benar bisa survive. Kang Warsa




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline