Katamu, aku adalah cermin bagimu. Cermin yang selalu kamu pakai untuk melihat dirimu yang sejati. Tapi kenapa saat ini begitu kesulitan aku menemukan pantulan dirimu yang sejati di dalam cermin itu?
Katamu kita adalah satu. Karena rasamu adalah rasaku dan rasaku adalah rasamu. Tapi kenapa saat ini tidak kulihat ada rasaku di dalam rasamu
Katamu, aku bagaikan nafas yang menghidupkanmu. Tapi kenapa saat ini tidak kutemukan diriku di dalam kehidupanmu?
****
"Apa yang salah dengan bahasa?" Tanyaku sambil berusaha menatap kedua matamu dalam--dalam.
"Tidak ada yang salah dengan bahasa." Jawabmu pelan.
Waktu itu, di bawah hembusan angin yang menggugurkan daun-daun pepohonan, sambil memalingkan wajah, kamu berusaha menghindari tatapan mataku. Dan saat itu, aku tersadar, bahwa ada yang tengah kamu sembunyikan dariku.
Dulu, sebelum pertemuan terakhir kita di atas bangku trotoar jalanan itu. Aku dan kamu tidak memerlukan untaian kata untuk menjelaskan perasaanmu kepadaku. Begitupun aku denganmu.
Dulu, aku dan kamu tidak lagi memerlukan untaian kata agar kita bisa saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Sebab rasaku dan rasamu mampu memahami jalan pikiran kita tanpa perlu mengungkapkannya dengan untaian kata.
Sebab rasa kita adalah bahasa yang paling tua dari semua bahasa yang pernah ada. Rasa kita mampu menerjemahkan semua percakapan yang ada tanpa perlu membuka kamus bahasa. Rasa kita juga adalah bahasa yang di pakai oleh Setan dan Manusia untuk bisa berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Sebab rasa kita adalah bahasa yang bisa di mengerti oleh semua mahluk hidup yang ada di dalam dan di luar dunia.
Saat ini, di dunia yang menurutmu adalah Dunia Seribu Bahasa, di atas bangku trotoar jalanan ini aku tengah duduk seorang diri. Menanti kedatanganmu dan berharap masih bisa mendengarkan suaramu lagi seperti dahulu. Setelah di pertemuan kita yang terakhir itu kamu berkata padaku; "Seandainya Tuhan tidak menciptakan begitu banyak bahasa, mungkin akan terasa lebih mudah bagiku untuk bisa menjelaskannya padamu".