Bagian Sembilan Belas
Panggilan Dari Ruang waktu
*
Aku terus berjalan menembus gelapnya malam. Di antara sayub-sayub suara yang tengah berkumandang. Aku terus berjalan mendatangi suara yang awal mulanya terdengar begitu pelan.
Dari kejauhan, nada-nada kerinduan itu seperti memaksa alam bawah sadarku agar secepatnya mendatangi suara itu.
Di antara gelapnya malam. Aku semakin hanyut di dalam perasaan. Di kesunyian malam, aku terseret masuk ke dalam nada-nada kerinduan. Di kesunyian malam, nada-nada kerinduan itu seperti mengajakku untuk kembali menyusuri jalan ke tempat di mana nada itu pertama kali dikumandangkan.
Di ruang waktu, aku melihat saat itu waktu salat telah tiba. Di ruang waktu, di antara angin yang bertiup kencang Bilal terus berjalan menaiki tempat di mana dahulu dia biasa mengumandangkan Azan.
Di ruang waktu, tangisku pecah bersama penduduk kota Madinah yang menangis dan meratap pilu teringat masa-masa indah bersama Rasulullah dulu.
Di ruang waktu, hari itu aku melihat langitpun ikut menghitam di sertai angin yang bertiup kencang seperti ikut mengenang masa-masa saat di mana Rasulullah masih ada bersama mereka dulu.
Dari langit yang menghitam, aku tahu ini adalah hari di mana Bilal mengumandangkan Azan yang pertama dan terakhir setelah Rasulullah tidak lagi bersama mereka.
"Kita sudah sampai," suara Dewi Malam di sampingku seolah menarik kembali tubuhku keluar dari ruang waktu.