Sebagai Negara Majemuk, Indonesia Rawan Konflik SARA
Indonesia, adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi oleh garis khatulistiwa dan berada di antara daratan benua Asia dan Australia, serta di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Selain itu, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau di dalamnya. Negara yang menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis dengan populasi hampir 270.054.853 juta jiwa pada tahun 2018 ini adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia.
Lebih dari 230 juta jiwa mayoritas agamanya adalah agama Islam, atau sekitar 85,2% dari jumlah penduduk di Indonesia, menjadikan Indonesia saat ini adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Selain agama Islam ada agama Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%), dan lain-lain (0,3%). Selain agama-agama tersebut, pemerintah Indonesia juga secara resmi mengakui Konghucu.
Sebagai negara majemuk dengan sekitar 300 kelompok etnis dari Sabang di ujung Aceh sampai Merauke di tanah Papua serta terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama itu menjadikan negara ini paling rawan terhadap konflik Suku, Ras dan Agama (SARA). Perbedaan pandangan antar kelompok masyarakat di suatu wilayah kerap menjadi pemicu bentrok antar mereka. Tentu saja kita semua tidak ingin kasus-kasus SARA yang pernah terjadi sebelumnya terulang lagi di negara yang kita cintai ini.
Sejarah Membuktikan, Agama Masuk ke Nusantara Melalui Budaya
Menurut pemikir Islam yang juga penulis buku Islam Nusantara (2002) dan Islam Subtantif (2000), Azyumardi Azra, Doktor lulusan Columbia University, Amerika Serikat yang juga mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu, menyatakan. Berdasarkan sejarah, masuknya ajaran Islam ke wilayah Nusantara ini melalui proses vernakularisasi. Vernakularisasi itu sendiri adalah pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu saja bahasa Indonesia. Kemudian proses ini diikuti pribumisasi, sehingga Islam menjadi tertanam dalam budaya Indonesia. Jadi, tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Karena itu, dalam penampilan budayanya, Islam Indonesia jauh berbeda dengan Islam Arab.
Istilah Islam Nusantara sendiri merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang dilakukan melalui cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras.
Para Walisongo kala itu menyebarkan Islam di pulau Jawa melalui kesenian. Hal yang mudah dicerna dan di nikmati oleh kalangan masyarakat pada masa itu maupun hingga saat ini. Salah satunya adalah Tembang Lir Ilir yang digubah oleh Sunan Kalijaga pada jaman kerajaan Jawa Islam, sebagai sarana dakwah/syiar agama Islam di pulau Jawa pada masa itu.
Banyak versi musik yang pernah dibuat/diaransemen untuk tembang ini. Beberapa tahun yang lalu, kelompok kesenian Kyai Kanjeng yang dipimpin oleh seniman & budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) turut pula menyemarakkan blantika musik Indonesia dengan mengaransemen ulang tembang Lir Ilir, sehingga memiliki nuansa yang lebih religius dan sakral.
Islam Nusantara, Salah Satu Contoh Dakwah yang Merangkul Budaya
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj dalam pembukaan acara Istighotsah menyambut Ramadhan dan pembukaan munas alim ulama NU menyebutkan bahwa Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya. “Yang paling berkewajiban mengawal Islam Nusantara adalah NU," tambahnya.