Lihat ke Halaman Asli

Boneka Penolak Bala

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14144121041950031931

WARISAN BUDAYA INDONESIA – Iring-iringan Pangeran Jayakarta berserta rombongan, sudah sampai di gerbang Keraton Kesultanan Banten. Penguasa Batavia itu hendak ikut merayakan kenduri khitanan Pangeran Abdul Mafakhir, yang tiga tahun sebelumnya pada usia tujuh tahun telah ditabalkan menjadi Sultan Banten menggantikan ayahnya, Sultan Muhammad, yang wafat di Palembang.

Peristiwa yang terjadi pada 1605 itu, dilaporkan oleh W. Scot, seorang pedagang asal Inggris yang pada awal abad ketujuh belas cukup lama berada di Banten. Pangeran Jayakarta ketika itu membawa banyak sekali buah tangan. Scot menceritakan, sebagaimana dikutip oleh W. Fruin Mees dalam buku bertajuk Geschiedenis Van Java, salah satu oleh-olehnya adalah boneka menyerupai raksasa. Scot memang tak tahu persis nama boneka itu.

Begitu juga dengan Eliza R. Scidmore. Tapi penulis sekaligus fotografer asal Amerika yang menetap di Batavia pada akhir abad ke-19 ini mengaku sudah sering melihat boneka sejenis itu. Dalam bukunya Java, Garden Of The East, ia mengisahkan di jalanan di Batavia kerap kali berlangsung atraksi tarian boneka besar dengan kostum warna-warni. Boneka itu berlenggak-lenggok seirama bebunyian dari alat-alat musik yang sederhana.

Keterangan Scot maupun Scidmore, agaknya merujuk pada ondel-ondel, atau dahulu disebut barongan karena dimainkan bareng-bareng atau bersama-sama. Kesenian tradisional khas Betawi ini biasa digelar di jalanan dengan pelakon utamanya berupa manekin berukuruan jumbo. Musik pengiring pertunjukan tanpa kata-kata ini bisa tehyan, tanjidor, gendang pencak, gambang kromong, atau rebana ketimpring.

Wujud ondel-ondel sebetulnya cuma rangka bambu setinggi dua meter dan garis tengahnya kurang dari satu meter. Rambutnya dari ijuk, mukanya berupa topeng, dan matanya melotot. Ondel-ondel laki-laki wajahnya merah, berkumis melintang, berjenggot lebat, beralis tebal, bercambang panjang, dan kadang-kadang bercaling. Sementara yang perempuan wajahnya putih atau kuning, bergincu, berbulu mata lentik, beralis lancip, dan kadang-kadang bertahi lalat.

Orang Betawi tempo dulu menganggap ondel-ondel adalah personifikasi para dewa, para leluhur, atau para orang terhormat. Maka sebelum membuat ondel-ondel mesti didahului dengan ritual-ritual berbau magis. Memainkannya juga setali tiga uang, sebab sering terjadi ondel-ondel bergerak sendiri bahkan mengamuk tak terkendali. Ketika disimpan, ondel-ondel juga harus dimuliakan dengan sesajen beraneka jenis.

Meski cuma boneka, ondel-ondel diyakini punya kekuatan untuk menjaga dan melindungi kampung Betawi dan seisinya dari setiap marabahya, dari segala malapetaka, dari seluruh pengaruh buruk roh-roh jahat. Itu sebabnya, dahulu, atraksi ondel-ondel amat dekat dengan harapan dan doa orang Betawi akan kesehatan, keselamatan, kedamaian, dan sejenisnya. Pertunjukan ondel-ondel adalah bagian dari praktik mistis-religius.

Sampai sekarang, atraksi ondel-ondel masih banyak dijumpai di Jakarta. Bedanya, boneka raksasa perwujudan Danyang Desa ini tidak lagi digunakan untuk menolak segala bala. Ondel-ondel saat ini, adalah salah satu media hiburan yang dapat menghalau segala kepenatan dan keregangan. Menonton gerak-gerik ondel-ondel, setidaknya akan memancing kita untuk tersenyum simpul. Percayalah. (naskah dari berbagai sumber; foto dari kebudayaanindonesia.net)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline