Lihat ke Halaman Asli

Ketika Tifa Ditabuh

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14156410112021085245

WARISAN BUDAYA INDONESIA – Dua pria kakak adik ini ibarat mesin pembunuh. Yang pertama namanya Fraimun, artinya adalah sebuah perkakas perang yang gagangnya sangat mematikan. Kebetulan ia memang pernah menghilangkan nyawa orang lain. Sementara yang kedua Sarenbeyar namanya, maknanya adalah busur yang sudah terpasang anak panahnya dan siap dilepaskan.

Kedua pria perkasa itu asalnya dari Maryendi. Satu ketika, karena kampung halamannya tenggelam, keduanya harus minggat menyelamatkan diri. Perjalanan mereka baru berhenti setelah menemukan tempat baru yang nyaman dan tenang di Biak Utara, tepatnya di kampung Wampamber. Di sinilah mereka menetap, sekaligus berusaha membangun kehidupan baru yang lebih baik. Keduanya bekerja siang malam tak kenal sudah.

Siang mereka berladang, malam keduanya berburu binatang. Begitu seterusnya. Sekali waktu, pada sebuah malam yang kelam di tengah-tengah hutan yang diam, mereka mendengar sebuah suara dari balik sepohon kayu besar. Sebab terkendala jangkauan pandang, mereka memutuskan untuk menyelidikinya keesokan harinya. Rupanya pohon opsur itu tempat bersarangnya sekawanan lebah madu hutan.

Pohon itu, pikir mereka, boleh juga dijadikan sesuatu. Setelah ditebang, mereka memotong bagian pohon terbaik, kira-kira setengah meter panjangnya. Dengan alat sederhana berupa nibong, sebatang batang besi yang tajam pada bagian ujungnya, potongan batang kayu itu dikeruk bagian tengahnya hingga berlubang menyerupai pipa besar. Di beberapa bagian permukaan batang kayu itu, mereka juga menambahkan sejumlah ornamen sebagai hisannya.

Sedikit lagi hasil karya mereka bisa berfungsi. Cuma mereka tak punya lembaran kulit untuk menutup salah satu ujungnya. Sang adik menawarkan jalan keluar. Ia menyuruh kakaknya untuk menguliti sebagian kulit pahanya. Tapi, sang kakak tak sampai hati jika harus menyakiti adik kandungnya sendiri. Akhirnya diputuskan untuk memakai kulit hewan saja, kebetulan mereka juga menemukan soa-soa alias biawak di pohon opsur itu.

Hei, napiri bo,” begitulah potongan bahasa Biak yang mereka gunakan ketika memanggil soa-soa itu. Tak perlu lama, biawak itu lalu menampakkan kepalanya tanda mengerti. Seterusnya, kedua bersaudara ini kemudian menutupi salah satu ujung pipa kayu dengan kulit soa-soa dan mengikatnya kuat-kuat. Lubang yang tertutup kulit ini sekaligus menjadi bagian atas dan bidang pukul alat musik Papua bernama tifa.

Ini cuma salah satu versi cerita rakyat, persisnya versi orang Biak, perihal asal mula tifa. Soalnya di Papua sendiri ada kisah lain yang menyebutkan bahwa tifa datangnya dari langit, dari perut bumi, atau dari jelmaan hewan. Maka boleh jadi, masih banyak folklor lain yang menceritakan soal alat musik pukul yang juga dikenal di Maluku dan Nusa Tenggara Timur ini. Tetapi, apapun versinya, tifa sesungguhnya bukan sekadar perangkat musik.

Tifa sejatinya adalah simbol perdamaian bagi masyarakat Papua tempo dulu. Ketika perang antarsuku membuncah, para tetua adat cepat-cepat menabuh alat bebunyian karya cipta dua bersaudara gagah perkasa bernama Fraimun dan Sarenbeyar ini. Pesannya, memanggil wakil para pihak yang bertikai untuk segera berdamai. Begitulah fungsi asali tifa yang juga sering ditabuh pada sejumlah seremoni masa kini. (naskah dari berbabagi sumber; foto dari mrarda.wordpress.com)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline