Lihat ke Halaman Asli

Memasak Bakar Batu

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14162856231183111763

WARISAN BUDAYA INDONESIA – Insrennanggi bukan seperti perempuan pada umumnya. Soal rupa jangan ditanya, karena ia memang menyilaukan mata banyak pria. Sudah itu Insrennanggi sangat cerdas dan terampil pula, sebab ialah yang pertama kali mengajarkan cara memasak menggunakan api kepada orang-orang Papua tempo dulu. Dari perempuan inilah riwayat tradisi bakar batu dimulai.

Kisahnya dibuka oleh dua orang pemuda asal Kabau, Pulau Bromsi yang tengah bersiap-siap menangkap ikan. Setelah melengkapi segala perkakas yang dibutuhkan, berangkatlah keduanya mencari peruntungan. Hari itu mereka suka cita, sebab hasil tangkapannya cukup banyak. Dengan hati gembira keduanya lalu menuju sebuah kebun untuk memasak ikan dengan menggunakan sinar matahari, seperti yang dilakukan orang-orang di kampungnya.

Sambil menunggu makanannya matang, salah seorang di antara mereka memotong sebatang tebu sekadar untuk melepaskan dahaga. Ketika itu ia terkejut bukan kepalang, demi melihat seorang perempuan yang belum pernah dikenalnya di tempat manapun. Bukan cuma itu, rupa raga perempuan itu juga nyaris sempurna derajatnya. Makin berdebar jantung si pemuda, saat perempuan itu mendekat dan menyebutkan namanya, Insrennanggi.

Sejak tahu yang dikerjakan si pemuda dan temannya, Insrennanggi mengingatkan bahwa cara masak mereka tak bisa membuat makanan matang sempurna. Makanya ia menunjukkan marpyam, sebuah alat yang dapat mengeluarkan api. Dengan bantuan media tertentu seperti kapiroi sebagai penghantar panas, marpyam pelan-pelan mengepulkan asap sebelum kemudian menjadi api yang menyala.

Supaya api makin besar, Insrennanggi minta bantuan kedua pemuda yang tampak ketakutan untuk mengumpulkan kayu dan batu. Ketika api padam, batu-batu panas yang memerah satu persatu disibakkan. Kemudian beberapa lembar daun digelar di atas bara berbahan batu itu sebagai alas bahan makanan yang akan dimasak. Lagi, sejumlah daun digunakan sebagai penutup di bagian atasnya, lalu ditimbun lagi dengan batu-batu panas yang sudah dibakar sebelumnya.

Setelah ditunggu beberapa waktu, makanan di dalam tumpukan batu panas itu siap disantap. Untuk menyakinkan kedua pemuda itu, Insrennanggi mencicipinya terlebih dahulu, sambil memberi makan seekor anjing. Akhirnya kedua pemuda itu pun ikut menyantapnya sampai habis. Saking puasnya, mereka lalu mengajak Insrennanggi ke Kabau sekaligus mengabarkan peristiwa yang mereka alami kepada seluruh penduduk kampung.

Sejak itu cara memasak baru itu menyebarluas ke seluruh di Papua dengan istilah yang beragam. Ada yang menyebutnya kit oba isago (Wamena), ada juga mogo gapii (Paniai). Tapi istilah yang paling umum adalah barapen. Dalam bahasa Biak-Numfor, bar itu artinya buat, jalankan, atau selenggarakan. Sedangkan apen maknanya api, panas, atau masak. Jadi barapen adalah proses memasak makanan menggunakan batu yang dipanaskan atau lazim disebut bakar batu.

Orang Papua sampai sekarang masih menjaga dan mempraktikkan warisan Insrennanggi ini. Ritual bakar batu, yang biasanya diramainkan dengan acara makan besar bersama-sama, bukan hanya dilakukan sebagai bukti perdamaian setelah terjadinya perang antarsuku, tapi juga digelar saat syukuran atas berkah alam yang melimpah, pesta pernikahan, atau juga penyambutan tamu-tamu agung. (naskah dari berbagai sumber; foto dari malalamagz.wordpress.com)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline