[caption id="attachment_83366" align="alignleft" width="300" caption="Three Sisters diintip dari kejauhan. (foto dok.pri)"][/caption] Hari itu kami mengunjungi ‘tiga dara’ di kawasan wisata blue mountain. Berada di arah barat kota Sydney sejarak 110 km-an, jika kita menempuhnya dengan menumpang kereta Sydney -Katoomba, akan menghabiskan waktu sekitar 2 jam-an.Mungkin perhitungan saya kurang tepat karena saya menempuhnya dengan menumpang mobil. Itu pun bukan dari Sydney, tetapi dari Paramatta, kota yang berada di antara Sydney dan Katoomba.
Saat pertama mendengar nama three sisters, bayangan saya melayang kepada sosok penyanyi tiga dara di era 90 an dan kepada tiga diva di era 2000an. Saya bayangkan tiga perempuan molek, dengan suara merdu. Namun, mengingat ‘tiga gadis’ ini berada di kompleks pegunungan, saya menjadi sangsi kalau dia adalah sungguh seelok dan semolek gadis.
Keabadian cinta
Setiap daerah menyimpan satu cerita rakyat mengenai kisah cinta yang berkaitan dengan suatu tempat, entah yang berakhir bahagia atau duka. Kisah Sangkuriang dan Dayang Sumbi yang melahirkan gunung Tangkuban Perahu adalah salah satunya. Catataan ini tidak mau bercerita mengenai legenda di tanah Sunda itu, tetapi legenda mengenai tiga gadis elok rupawan di ‘negeri kangguru’.
Alkisah, ada 3 gadis elok rupawan yang jatuh cinta dengan 3 pemuda gagah perkasa dari desa sebelah. Sayang disayang bahwa adat desa mereka tidak mengijinkan untuk bisa melangsungkan pernikahan. Hingga timbullah peperangan yang hebat diantara dua desa tersebut. Ada kekhawatiran dari para pemuda bahwa peperangan ini akan mencelakai para gadis. Maka timbullah niat untuk menyembunyikan kekasih mereka. Yang tertua di antara mereka, dan yang tersakti, mengubah para gadis tersebut menjadi tiga sosok batu. Harapannya, sesudah perang usai mereka akan dikembalikan menjadi manusia. Sayang para pemuda terbunuh dalam perang dan gadis-gadis itu tetap menjadi batu, selamanya.
Tentu saja ini hanya cerita legenda seperti halnya gunung Tangkuban Perahu yang terbentuk dari perahu terbalik akibat kemarahan Sangkuriang. Jika kita menelisik kepada ilmu alam, alasan erosi akan lebih diterima sebagai pembentuk gugusan gunung yang menjulang tinggi ini. Angin kencang yang berhembus meruntuhkan sedikit demi sedikit bagian dari gunung karang yang mudah rompal. Kilasan waktu yang panjang membuatnya menjadi tiga sosok berurutan, yang satu lebih tinggi dari yang lain; seolah yangs atu lebih tua dari yang lain. Sosok ‘tiga dara’ juga diberi nama sesuai dengan urutan dalam cerita. Yang pertama adalah Mehni, dia paling tua dengan tinggi 922m, disusul Wimlah dengan tinggi 918 m, dan yang bungsu adalah Gunedoo yang tingginya hanya kurang 12 meter dari Wimlah.
Saya mencoba menyusuri lekuk liku badan si Mehni. Pemerintah kota telah menyiapkan jalan dan jalur perjalanan yang menggembirakan para penyuka jalan di alam. Menuruni lekuk tubuh si Mehni ini kerap menakutkan, karena kemiringannya bisa mencapai hampir 90 derajat. Memang disediakan pagar dan pegangan, toh rasa was-was tetap mendera. Saya tidak meneruskan perjalanan hingga akhir, karena sebagian teman tidak sanggup menyusuri keelokan si gadis. Mereka menunggu di atas, dan membuat kami tahu diri untuk melupakan hasrat menyusuri keindahan Mehni hingga ‘air terjun’ Katoomba. Maka saya hanya mengintip keindahan air terjun itu, yang adalah padas tegak lurus hingga ratusan meter, dengan lensa kamera.
Ketika kami melangkah meninggalkan area ‘tiga dara’ satu teman menyeletuk, ‘memang sungguh cintanya abadi, karena menjadi batu’. Kami tertawa, namun cepat berubah menjadi senyum kecut demi mendengar komentar teman yang lain, ‘untung juga gunung ini ada di sini, kalau di kampung kita sudah habis itu ditambang.’ Lepas dari guyonan teman tadi, saya kagum dengan upaya pemerintah menjaga kelestarian alam dan keindahannya. Segala fasilitas dibangun agar kami bisa menikmati kemolekan alam itu dengan tenang dan nyaman. Saya berjanji akan datang lagi ke sana, lebih pagi tentunya agar bisa bercengkerama dengan para gadis lebih lama, dan menyusuri lekuk likunya lebih dalam dan jauh lagi.
Suami yang bosan
Selepas bercengkerama dengan ‘tiga dara’ kami memutuskan mencari makan siang di kota sekitar. Kebetulan lokasi blue mountain, di mana tiga dara dan air terjun katoomba berada sangat dekat dengan pusat keramaian Katoomba. Saya katakan keramaian, jangan dibayangkan sangat ramai sekali. Itu hanya berupa desa kecil yang ditata rapi dan mungil. Deretan pertokoan, juga kecil-kecil, siap menyambut para wisatawan. Seperti terjadi di banyak tempat aneka toko yang ada sungguh memanjakan para wanita yang berbelanja. Tidak jarang para suami menjadi bosan.
Ini juga disadari oleh pemilik toko khusus pakaian perempuan. Banyaknya pilihan yang ada, membuat para perempuan ini membutuhkan waktu yang lama untuk memilah dan mencoba. Di sanalah para suami akan muali ‘berlumut’ karena bosan, tak jarang mereka memilih mencari tempat yang lebih menyegarkan.
Khawatir para suami akan pergi meninggalkan toko dan mencari tempat hiburan lain, pengelola toko membangun sebuah tempat duduk bagi para suami yang bosan. Di sana juga ada rantai besi, yang bisa dipakai untuk merantai para lelaki agar tidak kabur mencari kesenangan lain.
Benarkah demikian yang terjadi? Tentu saja tidak. Ini hanya rekaan saya belaka demi melihat tulisan di kursi di depan toko baju century 21. Saya tertawa ngakak karena tulisan itu sungguh menohok para perempuan yang kerap membuat pasangannya bosan; karena menekuri keasyikannya sendiri, berbelanja.Apakah memang demikian, saya tidak tahu. Apakah juga berbelanja itu dominasi para perempuan? Saya juga tidak tahu. Namun tulisan di kursi itu satu tanda, agar kita tahu diri untuk tidak ‘menyakiti’ orang-orang di sekitar, terutama pasangan.
Hari sudah beranjak sore ketika kami meninggalkan area wisata blue mountain. Belum puas rasanya, tetapi waktu selalu membatasi keinginan. Dan saya bersyukur karenanya, agar ada alasan lagi untuk berkunjung di waktu yang akan datang. Jika semuanya telah saya puaskan hari ini, tentu tidak ada harapan lagi untuk bersua dan berbagi rasa. Para gadis, tunggulah kami datang lagi, suatu hari nanti. Toh kalian tidak akan ke mana-mana, terpaku dalam keabadian cinta. (bersambung)
salam hangat,
Melbourne, 16/01/11
[caption id="attachment_83367" align="alignnone" width="666" caption="kursi untuk para suami yang bosan (foto dok.pri)"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H