Lihat ke Halaman Asli

Tergesa: Journey of Kuliner di Kalimantan (12)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kawan, ada satu kebudayaan yang secara jeli menggambarkan suasana pesta. Pesta identik dengan makan dan hiburan. Mereka tidak duduk di kursi dan menghadap meja. Mungkin juga mereka duduk, tetapi posisi duduknya yang dibuat berbeda. Mereka duduk dengan setengah berbaring. Pelayan hilir mudik melayani mereka. Mengganti piring dan gelas kotor. Mengisi makanan dan minuman, atau aktivitas lain yang menyenangkan. Posisi duduk setengah tidur ini membuat orang rileks. Mereka bisa leluasa dan sangat santai dalam menikmati hidangan. Mereka makan dan minum dengan tenang.

Sebaliknya, ada juga tata aturan makan yang berbeda dengan kebanyakan makan. Mereka makan dengan tergesa. Yang santap juga roti tak beragi. Dagingnya domba muda. Tidak perlu banyak-banyak karena harus segera habis. Duduknya harus tegak, tanda siap pergi. Di sini suasana pesta tidak Nampak. Meskipun mereka menyebutnya pesta. Yang Nampak adalah sikap berjaga-jaga.

Apapun itu, makan dengana tergesa pasti tidak nyaman. Jika yang dilakukan sekadar mengisi perut, itu boleh saja. Tetapi jika yang diharapkan adalah menikmati makanan, lakukan dengan pelan. Tidak harus duduk setengah berbaring. Karena itu juga tidak bagus untuk kesehatan. Yang penting makanan itu cukup lama dikunyah sehingga memungkinkan bercampur dengan enzim mulut secara merata. Makanan yang bercampur dengan enzim mulut secara merata akan meringankan kinerja lambung dan usus. Jadinya badan sehat.

Satu hal yang cukup saya sesali sewaktu berada di Banjarmasin adalah terlalu cepat meninggalkan kota tersebut. Makan saja menajdi tidak tenang. Pikiran saya terbagi antara menikmati nikmatnya sop buntut dengan jadwal bus yang akan ke Samarinda, karena kami tidak tahu pasti jam berangkatnya.

Selesai makan saya langsung meminta tolong untuk dipesankan tiket bus menuju Samarinda. Rencananya sore hari saya ingin meluncur ke Samarinda. Sore hari yang saya maksudkan ya sekitar jam 6 atau jam 7. Betapa terkejutnya kami ketika jadwal bus itu adalah jam 3 sore. Padahal saat itu sudah jam 2.30. Kontan kami segera mohon pamit untuk menyiapkan barang-barang. Pak Agus mencoba menghubungi pangkalan bus lagi untuk mencari bus lain yang mungkin berangkat lebih sore. Syukurlah ada bus lain yang berangkat jam 4 sore, maka saya masih memiliki kesempatan untuk mandi dan packing lebih longgar.

Mengandaikan. Itulah yang saya lakukan. Sesuatu yang buruk, toh saya ulangi. Mengandaiakan ada bus dengan jam pemberangkatan yang selalu ada setiap jam. Sehingga saya bisa menata waktu saya sekehendak hati. Sebenarnya sumbernya satu, tidak bertanya secara detail, tidak menata jadwal dengan bagus, dan tidak melakukan koordinasi dengan optimal. Semua saya buat mengalir. Seolah-olah saya hanya berjalan dalam rangka liburan.

Atau juga saya yang terlalu kaku dengan rencana awal. Bahwa tanggal sekian harus sudah berada di kota mana dan kapan meninggalkan kota mana. Padahal saya tidak tahu dengan pasti jarak dan medan jalan yang mesti dilalui. Kaku dan kerap menyulitkan diri sendiri, terkadang termasuk orang lain menajdi ikut susah.

Setelah mandi dan menata barang saya siap untuk berangkat. Jumlah barangku menjadi bertambah karena ada beberapa titipan. Waktu datang saya hanya membawa satu tas ransel, sekarang mesti ditambahi satu tas tenteng. Ini tidak pernah saya perhitungkan. Bahwa keluarga-keluarga yang saya kunjungi akan titip sesuatu bagi anak mereka di Jawa. Saya hanya berpikir mengenai diri saya sendiri. Sudahlah, jalani saja. Bahwa nanti satu tas akan menjadi dua tas atau tiga tas, lihat saja nanti. Seperti guyonan teman kerja di Malang, ‘datang dengan satu koper, pulang dengan satu kontainer’.

Setelah berpamitan saya diantar menuju terminal. Waktu itu jam masih menunjukkan angka 15.20 waktu Banjar. Masih ada cukup waktu untuk ngobrol-ngobrol. Saya bersama Pak Agus ngobrol banyak hal mengenai situasi masyarakat di Banjar, mengenai pekerjaan, pendidikan, dll. Jam 15.50 saya menuju bis yang akan membawa ke Samarinda.

Rupanya tidak banyak penumpang yang mengisi bis ini. Karcis saya bernomor18 dan di belakang saya tidak ada penumpang lagi. Betapa mengenaskannya, bis sebesar ini hanya diisi oleh 19 penumpang, padahal biaya yang dikeluarkan oleh bis ini tetap sama meski ia memuat 40 penumpang atau 20 penumpang. Berhubung bangku di belakangku kosong, maka saya pilih pindah agar lebih leluasa. Jam 16.05 bis berngkat meninggalkan terminal Banjarmasin menuju kota Samarinda.

5 Januari 2009 diiringi mentari yang berpacu menuju ke arah barat seakan berlomba dengan bus yang melaju ke arah utara. Selamat tinggal Banjar, hanya sehari semalam aku menyinggahimu dan belum banyak yang aku kenal darimu. Mungkin suatu saat jika Tuhan memberi kesempatan, saya akan datang lagi. Menikmati Soto Banjar yang begitu terkenal. Mungkin ini memang sudah diatur agar aku bisa datang lagi untuk menikmatinya.

(bersambung)

Sebelumnya : Sop Buntut

Kota-kota berikutnya : Samarinda, Sangata, dan Balikpapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline