Lihat ke Halaman Asli

Sop Buntut : Journey of Kuliner di Kalimantan (11)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tujuan utama saya datang ke Banjarmasin adalah mempromosikan sekolah di mana dulu saya mengajar. Sekolah tempat saya bekerja bukan sekolah baru, bahkan tahun depan merayakan ulang tahun ke-75. Toh masih perlu juga diperkenalkan dan diwartakan kepada banyak orang. Kami meniru apa yang dilakukan para produsen di dunia usaha.

Misalnya produk pasta gigi atau sabun mandi. Meski pasta gigi yang mereka produksi sudah sangat terkenal, toh mereka tetap membuat iklan. Iklan bukan untuk mengatakan bahwa produk mereka sedang jelek atau apa, tetapi agar masyarakat tetap ingat dan makin banyak yang berminat. Itu juga yang kami lakukan, berkeliling nusantara untuk mengenalkan sekolah.

Saya sudah membuat janji dengan kepala sekolah SMP di Banjarmasin ketika saya masih di Sampit. Maka hari ini, setelah sarapan dan ngobrol panjang lebar di rumah Pak Agus, saya berangkat menuju SMPK St. Maria. Jam setengah sebelas kami sampai di sana.

Bagus = Mahal?

Salah satu pe-er pemangku tugas di sekolah adalah memberikan pendidikan yang baik kepada para murid tetapi dengan biaya yang tidak mahal. Ada anggapa sementara orang bahwa sekolah yang mahal itu bagus. Atau sebaliknya sekolah bagus, favourite itu pasti mahal. Sungguh ironis. Karena tidak semua sekolah yang mahal adalah bagus, dan tidak semua sekolah yang bagus adalah mahal. Adalah idel memberikan pendidikan yang murah namun berkualitas bagus.

Setelah berbicara sebentar dengan suster kepala sekolah, saya menuju aula sekolah untuk mempersiapkan diri. Apresiasi anak-anak cukup baik, sayang saya tidak membawa banyak brosur hingga kekurangan brosur. Menghadapi anak-anak SMP yang sedang memulai ‘perjalanan panjang’ dalam dunia akademi sungguh membuat hati ini terasa ‘mongkok’. Melihat pancaran mata yang bersinar penuh harapan untuk bisa bersekolah setinggi mungkin sangatlah membahagiakan.

“Romo saya bukan orang kaya, sekarang saja saya bekerja paruh waktu agar saya bisa sekolah, apakah saya bisa sekolah di tempat Romo?” Tanya seorang anak setelah sesi promosi selesai. Pertanyaan itu wajar dan biasa ditanyakan banyak orang. Karena, seperti yang saya katakana di atas, mereka melihat sekolah yang bagus berarti mahal.

Saya pribadi memiliki idealisme bahwa sekolah itu untuk semua. Kaya miskin, bodoh pandai, terpandang tersisihkan, berhak mendapatkan sekolah yang sama. Sekolah dan lembaga pendidikan harus bisa menjadi jembatan dan alat bertumbuh kembang. Jika hanya anak-anak yang pandai dan kaya yang bisa bersekolah di sekolah bagus, amatlah kasihan dengan yang kurang pandai dan miskin. Karena mereka akan terus berada dalam kesulitan.

Rupanya anak tadi masih menunggu jawaban. Dan dengan tegas saya katakana “bisa.” Karena saya memiliki pengalaman menolong anak-anak yang secara ekonomi kurang mampu untuk mendapatkan sekolah yang baik. Persoalan tidak berhenti di sana saja. Karena biaya yang dikeluarkan bukan hanya untuk sekolah, tetapi juga untuk hidup.

Pertanyaan anak tadi masih membekas dalam hati. Masih ada banyak hal yang bisa dibuat untuk perkembangan pendidikan dan sekolah. Ada banyak tugas yang menanti demi pekembangan anak bangsa. Anak-anak itulah yang pada saatnya kelak akan membangun masyarakat. Memberi kesempatan mereka mendapatkan pendidikan yang baik adalah persiapan menciptakan masyarakat yang baik pula.

Masih banyak anak yang memiliki niat besar untuk mendapatkan sekolah yang baik tetapi terhalang oleh situasi ekonomi yang sulit. Saya sungguh merasa bahwa mereka yang mengalami kesulitan ekonomi tetap lebih sulit memperoleh pendidikan. Sulit untuk memilih tempat pendidikan yang sesuai, yang menjanjikan banyak fasilitas untuk pengembangan diri, yang menjanjikan akan memberikan pendidikan yang terbaik.

Mereka yang terlahir dari keluarga kaya selalu memiliki banyak pilihan. Kemudian pertanyaan lama yang tersimpan dalam hati muncul lagi, apakah memang pendidikan hanya untuk mereka yang memiliki banyak uang? Apakah anak miskin hanya berhak mendapatkan pendidikan di sekolah gratis yang sarana dan pelayannya kurang maksimal, karena gratis? Tentu saja tidak. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak, yang terbaik.

Sop Buntut

Jam dua belas kami meninggalkan SMP St. Maria dan kembali ke rumah. Rencananya kami hendak ke terminal untuk membeli tiket bis. Rencanaku sore ini akan langsung meninggalkan Banjarmasin menuju Samarinda. Tetapi kami memilih untuk langsung pulang. Sesampai di rumah kami diberitahu oleh Bu Agus bahwa kami ditunggu untuk makan siang di rumah ibu yang tadi pagi datang. Saya menyesal alang kepalang karena lupa nama ibu itu. Maka dalam cerita ini saya hanya bisa mengatakan ibu yang tadi pagi datang dalam misa harian dan datang ke rumah keluarga Agus serta banyak melelehkan air mata. Maafkan saya ibu telah melupakan nama ibu, atau mungkin kemarin saya tidak menanyakan nama ibu. Yang pasti saya selalu berharap rahmat Tuhan senantiasa melimpah dalam keluarga ibu.

Rupanya rumahnya begitu dekat. Kami hanya berjalan kaki ke sana. Jalan kaki ini banyak maknanya, setelah cukup lama berada dalam kendaraan, berjalan kaki sungguh melancarkan aliran darah. Lebih dari itu berjalan kaki membuat badan lelah, perut lapar, dan nafsu makan meningkat. Hehehehe. Khan kami ke rumah ibu tersebut untuk makan siang. Jadi akan sangat menyenangkan tuan rumah jika kami bisa makan dengan lahap.

Rumah dengan banyak ornament kayu itu begitu menarik. Mungkin yang membuatnya dulu begitu menyukai unsur kayu, meski kebanyakan rumah asli Kalimantan terbuat dari kayu, namun gaya rumah ini cukup beda. Perpaduan gaya modern dan tradisional menjadikan rumah ini cukup eksotis di antara bangunan megah di sisi kiri dan kanannya. Pintu pagar, lantai dan beberapa unsur lain yang terbuat dari kayu membuat suasana begitu hangat.

Mereka menghuni rumah ini baru dua tahun. Sebelumnya mereka tinggal di Pontianak dan Sampit. Perpindahan tempat tinggal mengikuti perpindahan pekerjaan. Ketika kayu menjadi primadona Kalimantan, mereka tinggal di Sampit. Ketika kayu habis mereka mengalihkan usaha batu bara. Tentu usaha pertambangan di lakukan jauh dari pemukiman, maka kerapkali rumah ini hanya berisi para wanita dan anak-anak. Suami ibu ini lebih banyak menghabiskan waktunya di pertambangan.

Kami langsung dipersilahkan menuju ruang makan yang menjadi satu dengan dapur. Saat itu di rumah hanya ada Ibu dan anak bungsunya serta dua pembantu perempuan. Dua anaknya yang lain masih di sekolah. Saya sudah bertemu dengan anaknya yang sulung waktu presentasi di sekolah. Saya dan pak Agus langsung mengambil tempat duduk. Setelah menunggu sebantar anak bungsunya langsung bergabung bersama kami. Usianya masih 3 tahun lebih. Sikapnya sangat terbuka dan cenderung apa adanya. Tipe anak cerdas yang akan memusingkan guru jika tidak siap menghadapi keterbukaan dan segala pertanyaan.

Di meja makan terhidang empat amcam masakan. Ada sayur asem, sop buntut, ayam kecap, dan ‘huiwan’ (saya tidak tahu menulisnya tapi kedengarannya seperti itu hahahahaha. Terbuat dari udang yang dihaluskan dan dicampur sedikit tepung dan di goreng). Saya cukup heran mengapa si ibu mesti memasak beberapa jenis masakan padahal penghuni rumah ini hanya sedikit.

Saya mengambil sop buntut tanpa nasi, rasanya segar di tengah panasnya kota Banjarmasin. Daging sapinya dimasak lunak sehingga di mulut tidak sempat mengadakan perlawanan sama sekali. Sesi kedua saya mengambil sedikit nasi dan ayam kecap. Setelah itu saya ambil huiwan beberapa potong tanpa nasi, yah seperti camilan saja. Rasanya memang udang banget hahahahaha.

Saat kami makan dua anaknya datang dari sekolah. Mereka langsung duduk di meja makan dan dilayani oleh pembantu rumah. Si sulung makan dengan sangat santun. Hanya makan nasi dan sayur asem. Sedang adiknya begitu lahap dengan sop buntut dan ayam bergantian. Si adik menambah piringnya dengan nasi lagi hingga tiga kali untuk mengimbangi daging yang terus ia cedok. Sementara itu si kakak masih berjuang menghabiskan nasi pertamanya. Ia bahkan tidak mengambil daging sama sekali. Menurut si ibu, anak sulungnya itu tidak begitu suka daging dan suka sayuran, ia juga tipe tidak pilih-pilih makanan. Sementara adiknya mesti ada daging baru lahap. Efeknya jelas terlihat. Si adik lebih gemuk dan gempal sedang kakaknya lebih langsing.

(Bersambung)

Sebelumnya : Putri Kaca dan Sunduk Lawang

Sesudahnya : Tergesa

Sesudahnya lagi : Silaturahim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline