Lihat ke Halaman Asli

Gambar yang Menipu: Journey of Kuliner di Kalimantan (7)

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak tahu itu tidak berdosa. Tidak mau tahu itu yang membuat celaka. Orang yang tidak tahu bisa diberi tahu. Tetapi yang tidak mau tahu, tidak bisa diberi. Karena memang tidak mau. Orang yang mau tahu dan tidak ada yang memberitahu, mestinya mencari tahu. Pengetahuan akan sangat membantu. Jika perjalanan menemui jalan buntu, siaplah untuk berbalik arah. Jika perjalanan menemui banyak hambatan, siaplah meminta pertolongan.

Inilah bagian ketidaktahuan saya ketika menuju Banjarmasin. Saya tidak tahu bahwa kota Banjarmasin itu sudah masuk WITA. Itu berarti berbeda dengan Palangkaraya yang masih termasuk WIB. Ketidaktahuan yang merugikan adalah saya kehilangan satu jam. Jam di mobile phone saya masih menunjukan angka 19 lebih sedikit. Tetapi di tempat saya berada sudah jam 20 lebih sedikit. Yah, saya kehilangan waktu satu jam yang tidak saya pernah saya perhitungkan sebelumnya.

Saya kehilangan sesuatu yang tidak pernah benar-benar hilang. Karena saya tidak pernah menyimpan waktu. Saya juga tidak pernah membeli waktu. Saya hanya menjalani. Bahwa manusia menentukan batas, yang kemudian membuat perbedaan. Karena saya kehilangan perbedaan, maka saya merasa kehilangan. Bahwa ketika orang di sekitar saya bisa menikmati 24 jam putaran detak jam, dan saya hanya 23, itu tidak berarti apa-apa. Karena kami toh memulai dan mengakhiri bersama-sama.

Rencana untuk mempersembahkan Misa Kudus di gereja Sakramen Mahakudus pun tidak dapat dilaksanakan. Perbedaan membuat rencana mesti disusub secara berbeda. Memang saya bisa melemparkan tanggungjawab kepada ketidaktahuan. Tidak tahu bahwa saya akan kehilangan waktu satu jam. Tidak tahu bahwa travel itu akan berhenti sekitas 30 menit di tempat peristirahataan. Tidak tahu bahwa perjalanan bekendaraan itu tidak selalu bisa diukur dengan perhitungan matematika. Artinya jarak, kecepatan, dan waktu bukanlah sesuatu yang berbanding lurus. Kemacetan, kondisi jalan, lokasi penumpang, keadaan mobil, sangat memengaruhi lama perjalanan. Lebih mudah, tidak membuat rencana apa-apa. Mengalir saja. Tetapi, nanti dipersalahkan, karena tidak membuat rencana apa-apa. Karena manusia mesti membuat rencana.

Saya tidak misa hari itu. Pagi hari saya berangkat dari Parenggean ketika gereja setempat belum memulai perayaan Ekaristi. Tiba di Banjarmasin hari sudah malam ketika seluruh perayaan sudah selesai. Saya hanya berdoa kiranya Tuhan mengampuni saya yang tidak mempersembahkan atau bahkan sekadar mengikuti perayaan Ekaristi. Kata-kata hiburan mengalir, Tuhan memahami apa yang tidak saya mengerti.

Tidak seperti gambarnya

Begitu sampai di rumah Bapak Agus, tempat saya menginap malam itu, saya langsung mandi. Badan lusuh lengket dengan keringat dan penat. Guyuran air dingin sungguh mengembalikan kesegaran badan. Kalau mengikuti kemauan badan ingin rasanya terus menerus berada di bawah guyuran shower yang menyejukkan. Namun sadar bahwa ada pribadi-pribadi yang menunggu di ruang keluarga, membuat saya mesti mengakhiri acara mandi.

Setelah berganti pakaian saya menemui seluruh keluarga di ruang tamu. Pak Agus dan istrinya serta orang tuanya. Pak Agus adalah orangtua siswa saya di DEMPO, sebut saja namanya Bunga. Setelah ngobrol sejenak, Pak Agus mengajak saya keluar untuk mencari makan. Yang dituju adalah Depot 29, dengan sajian khas Pontianak.

Menurut bapak yang rambutnya mulai menipis ini, depot ini baru buka. Penjualnya berasal dari Pontianak, maka masakannya adalah khas Ponti. Meskipun tidak bisa disimpulkan begitu saja. Seperti penjual soto Lamongan di dekat rumah kami, yang ternyata bukan orang Lamongan. Itu tadi hanya kesimpulan ngawur saya, meskipun ngawur itu belum tentu salah dan belum tentu benar juga.

Jenis masakan yang ditawarkan adalah standart Chinese food. Saya sebut standart karena begitulah yang kerap saya jumpai. Ini pun sebuah kesimpulan yang mungkin terlalu etrburu-buru saya sematkan. Apakah memang seperti itu cirri khan Chinese Food? Atau baru itu yang saya temui. Semua bisa terjadi. Dan ada baiknya saya tidak segera menghakimi.

Berbagai sea food dan beberapa jenis masakan yang bukan dari laut, terdaftar di sana. Setelah melihat daftar menu dan mengamati gambar yang tertera saya memesan Tom Yam sebagai sup. Saya pikir Tom Yam pedas dan panas akan memberi kehangatan setelah badan terguncang-guncang seharian di dalam mobil. Sebagai menu lain kami memesan Kepiting saus Padang dan ca Brokoli. Sebagai minuman saya memesan jus sirsak dan air putih. Jus sirsak saya pesan untuk melawan serangan asam urat yang mungkin muncul dari kepiting yang kami santap.

Setelah menunggu tidak berapa lama (sungguh-sungguh GPL, ga pake lama) pesanan kami datang. Ketika pelayan meletakkan aneka masakan di atas meja, saya agak terperanjat dan langsung berkomentar, ‘kok tidak sama dengan gambarnya?’ Dengan kaget Pak Agus balik bertanya, ‘tidak sesuai dengan gambar apa?’

Gambar memang bisa menipu. Maka ada ungkapan, ‘lebih indah dari aslinya’. Gamabr itu sesuatu yang mati, awet, dan pasti tahan lama. Sesuatu yang hidup pasti berubah. Satu resep kecil dari teman di timur dulu. Jika mengenali seseorang jangan hanya melihat foto. Gambar itu menipu. Karena dia mati dan tidak berubah. Rambut yang berjambul dan belum beruban, tidak kelihatan dalam foto. Apalagi foto 5 tahun lalu atau lebih.

Apakah makanan termasuk yang ‘hidup’? Berdasar gambarnya, Sup Tom Yam itu kental dan banyak isinya. Kekentalan itu tercipta dari santan dan aneka bumbu dan berbagai hasil laut ada di sana. Nampak juga cabe dan tomat, bersaing dengan sere dan jahe. Ternyata yang tersaji adalah sup bening dengan banyak kuah. Sedangkanisinya sedikit sekali.

Tanpa perlu dianalisis sudah sangat jelas bahwa sup ini tidak memakai santan seperti yang terpampang di gambar. Isinya hanya dua ekor udang, beberapa jamur, dan sudah. Saya aduk-aduk sup itu dengan harapan akan keluar sesuatu yang saya tunggu. Ternyata hanya membuat saya makin menggerutu.

Begitu melihat wujud fisik Sup Tom Yam ini, saya menjadi tidak tertarik untuk menyantapnya. Padahal Tom Yam adalah salah satu menu favourit saya. Bahkan teman serumah dulu sering berkomentar kalau ada orang mengirim masakan Tom Yam, itu hanya mengirim untuk saya. Yah, gpp lah, lha enak, hehehehe.

Kepiting Saos

Karena Tom Yam tidak lagi menjadi daya tarik, maka perhatian saya sepenuhnya tercurah kepada kepiting saus padang yang tersaji merah menusuk mata di hadapanku. Dagingnya yang penuh dan padat memaksaku mengerahkan seluruh konsentrasi dan tenaga agar daging-daging kepiting itu tak terlewatkan. Meski sedikit saja.

Satu porsi kepiting itu nyaris saya habiskan sendiri, karena Pak Agus tidak begitu mau menyentuhnya. ‘Repot’, demikian dia memberi alasan. Seandainya di rumah ia akan melahap semuanya.

Setelah menghabiskan separo badan kepiting, terlontar pertanyaan begitu saja. Sebenarnya kepiting itu yang enak bagian yang mana? Dagingnya atau bumbunya? Manisnya atau pedasnya? Perjuangan memcah cangkangnya atau menghirup sumsum di kakinya? Apakah akan enak menyantap kepiting tanpa bumbu? Apakah memang kepiting harus ada bumbunya? Mengapa harus ada bumbu?

Seperti menyeduh kopi. Mengapa mesti ada gula? Jika yang enak adalah rasa pahit, mengapa mesti ada pemanis? Ternyata itu lekat dengan manusia. Yang alami selalu ditutupi. Tampil alami selalu menakutkan. Mesti ada baju dan riasan di badan. Hingga mampu tampil menawan dengan segala pelindung badan. Seperti penyanyi yang selalu bagus saat rekaman, tetapi jelek saat tampil di panggung. Di studio nyanyi bisa iulang. Sedang di panggung, nyanyi jelek berarti dicaci.

Demikian di kalangan berita. Yang menarik, yang hangat, yang hebat, adalah yang berbumbu. Ada pembunuh. Dia dikenal menyukai sesame jenis. Ia membunuh dengan sadis. Ia juga rajin menjalankan ibadah. Berita seperti ini akan laris manis. Ada banyak aspek yang akan dikupas. Meski sebenarnya perkaranya hanya satu. Dia membunuh.

Yang apa adanya kurang memesona. Yang lurus-lurus saja kurang terurus. Yang sedikit bengkok akan dapat suara kokok. Yang memakai bedak akan dibingkai kotak. Padahal, kalau mau merasakan sesuatu yang alami mesti tidak dibumbui.

Tom Yam yang tidak sesuai dengan gambarnya itu ternyata menjadi perhatian Pak Agus. ‘Segar’, demikian beliau memberi alasan. Hampir satu jam kami bekutat di depot itu, dan kembali ketika jalanan di Banjar sudah mulai sepi.

(bersambung)

Sebelumnya : Jalan Panjang

Sesudahnya : Air Mata

Sesudahnya lagi : Nasi Kuning

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline