Lihat ke Halaman Asli

Jalan Panjang: Journey of Kuliner di Kalimantan (6)

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah adik saya berlalu bersama mobil yang membawanya kembali ke Sampit, hati saya kembali berdebar. Petualangan yang sesungguhnya baru akan saya mulai. Sekarang tidak ada saudara atau sanak yang saya kenal. Lebih dari itu, keluarga-keluarga yang telah saya kontak belum saya kenal sebelumnya. Saya hanya mengenal anak mereka di sekolah.

Debaran di dada ini memiliki banyak makna. Ada sukacita, ada keraguan, dan ada juga terselip takut. Sukacita karena akan menemui pengalaman-pengalaman baru. Ragu dan takut dengan perjumpaan baru. Semuanya belum jelas dan pasti. Yang pasti bahwa saya mesti ke sana, ke kota berikut.

Kota kedua yang akan saya jelajahi adalah Banjarmasin. Untuk ke sana saya mesti melewati Palangkaraya. Ibu kota Kalimantan Tengah ini benar-benar hanya saya lewati dan pandangi saja. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan, apalagi mengenai makanannya. Maka perjalanan panjang yang bisa saya bagikan.

Palangkaraya yang lengang. Itulah kesan yang saya peroleh. Karena hanya melewatinya dan berhenti di pos travel selama 2 jam dan 30 menit. Duduk di teras agen travel. Sambil memandang arus lalu lintas yang lalu lalang. Memandang jalan yang lebar namun lengang, melihat bangunan penjara yang tinggi megah. Melihat bangunan-bangunan pemerintahan yang megah. Semuanya megah dengan taman yang luas. Pintu masuk yang menjorok jauh ke dalam. Namun lengang. Saya tidak tahu ke mana semua penduduk Palangkaraya ini. Atau memang ibu kota Kalimantan Tengah ini penduduknya sedikit saja.

Janji

Saya tiba di palangkaraya sebenarnya jam 12-an siang. Langsung membeli tiket travel dan mendapatkan travel jam 13.00. Namun mau apa lagi, travel yang seharusnya berangkat jam 13.00 sudah penuh. Terpaksa. Ya, dengan terpaksa saya menunggu dengan menggerutu, kapan saya akan tiba di Banjarmasin. Bagaimana dengan janji untuk mempersembahkan misa jam 17.30 di paroki Sakramen Mahakudus Banjarmasin.

Sebuah kebodohan. Tidak ada kata lain yang lebih tepat untuk menggambarkan keputusan untuk memberi sebuah janji. Sedangkan waktu dan situasi tidak pernah diketahui. Tapi itu salah satu pengalaman yang mesti dilalui. Hingga nanti lebih teliti dan hati-hati.

Akhirnya jam 14.30 waktu Palangkaraya travel yang saya tumpangi meluncur meninggalkan kota. Mobil Xenia dengan penumpang 8 orang termasuk sopir. Saya duduk di pojok belakang, terguncang-guncang dengan memangku tas berisi pakaian dan laptop. Kepala saya sandarkan pada tas yang penuh sesak di belakang. Namanya juga ngejar setoran, mobil kecil pun diisi dengan penuh. Penuh penumpang dan barang. Tidak nyaman, tetapi tidak ada pilihan.

Perjalanan ini terasa begitu sangat panjang. Bahkan baru mulai pun sudah terasa melelahkan. Lelah bukan karena badan terasa lelah. Tetapi pikiran yang gerah. Panas karena dimakan janji. Janjiku sendiri kepada keluarga di Banjarmasin. Sebenarnya rugi benar, karena pikiran itu mengalihkan sebagian besar kesenangan di jalan.

Maka, perlahan-lahan pikiran akan janji aku benamkan dalam-dalam. Aku amati suasana sekitar, teman-teman di mobil dan suasana sekitar jalan. Melewati jalan tol di atas rawa-rawa yang sangat panjang. Kanan kiri yang berselang-seling antara hutan dan rawa-rawa. Sebenarnya sungguh sangat menyenangkan.

Mentari sore yang menyemburkan sinar keemasan memoles pucuk-pucuk pohon yang akan segera aku tinggalkan. Senyampang masih bisa memandang dan menikmati indahnya sore, aku alihkan segala kekesalan dan kejengkelan dalam hati dengan pemandangan yang indah di tepi jalan.

Hatiku semakin gondok ketika travel harus berhenti untuk memberi kesempatan bagi kami untuk makan. Kalau boleh memilih aku tidak mau makan, mendingan langsung melaju ke Banjarmasin agar segera sampai ke tempat tujuan.

Batas

Yah, sekali lagi meski mengeluh dalam hati saya harus ikut. Meski semua penumpang saya perhatikan tidak ada yang makan, namun sopir travel toh memiliki jatah untuk makan di warung itu. Kurang lebih 30 menit kami beristirahat di sana. Tiga puluh menit yang serasa seperti tiga jam. Hemm, mau apa lagi semua harus diikuti, saya tidak bisa memilih, maka saya mencoba menikmati saja.

Di sinilah saya rasakan adanya batas. Batas antara apa yang bisa saya raih dan tidak. Batas antara keinginan, angan, harapan, dan kenyataan. Bahwa harapan, angan-angan, dan keinginan tidak selalu bisa terpenuhi, karena kita terbatas. Terlebih di situlah saya menemukan diri saya yang terbatas. Dibatasi oleh ruang dan waktu. Ruang dan eaktu mengikat untuk berada dalam satu titik yang sama.

Salah satu keterbatasan saya misalnya; saya tidak tahu kota mana saja yang akan disinggahi oleh tavel ini. Tentunya tidak semua penumpang akan menuju Banjarmasin. Empat penumpang rupanya menuju Kabupaten Kapuas Hulu. Saya tidak tahu bahwa ada kabupaten itu, saya kira Kapuas Hulu itu bagian dari Banjarmasin. Maka ketika mobil mengantarkan penumpang ke daerah tengah kota, saya agak kaget, kok Banjarmasin sepi-sepi saja. Bukannya ini ibukota provinsi? Kok sepi banget? Itulah pertanyaan yang terus melayang-layang dalam kepalaku. Itulah keterbatasanku, bahkan bisa jadi kebodohan. Karena mengadakan perjalanan tidak membawa peta.

Setelah menghantar empat penumpang tadi mobil bergerak ke arah luar kota. Saya bingung, kok mobilnya kembali ke arah Palangkaraya. Sekali lagi keterbatsan saya, saya tidak bisa melihat dengan jelas karena suasana sudah gelap. Ada kebingungan dalam hati tetapi tida ada niatan untuk bertanya. Akhirnya saya ikut saja.

Meskipun saya sudah mencoba untuk pasrah, toh pertanyaan mengenai arah mobil dan tujuan perjalanannya terus merasuk dalam hati. Yang pasti saya tidak mau bertanya. Ngikut saja. Saya sangat heran mengapa mulut saya tidak memiliki niatan untuk bertanya. Padahal hati dan pikiran saya terus menerus bertanya.

Satu keterbatasan saya terjawab. Pikiran saya menemukan titik terang. Sopir travel mengerti apa yang harus ia buat. Ia jauh lebih memahami jalur-jalur pekerjaannya. Dia tahu ke mana harus pergi, karena ia telah mendapat data diri. Sebelum meninggalkan Palangkaraya tadi ia telah menerima salinan data kami. Termasuk alamat di mana kami akan turun.

Ketika kesadaran saya telah datang, saya pun menyadari bahwa mobil menuju kota Banjarmasin. Ada tanda di tepi jalan bahwa kami akan memasuki kota. Sekarang saya kembali lega dan tenang, ternyata mobil memang menuju arah yang tepat. Tanpa saya sadari, dari mulut saya keluar kata huhhh, dengan hembusan nafas yang sangat kuat tanda lega.

Rumah yang saya tuju ternyata berada di tengah kota, di belakang Polwiltabes Banjarmasin. Sopirnya langsung tahu jalan yang saya berikan tetapi tidak tahu gangnya. Terpaksalah saya telfon pemilik rumah untuk menunggu di mulut gang. (Ternyata yang memiliki keterbatasan bukan hanya saya, sopirnya pun tidak sangat hafal jalan-jalan di sini.)

Ternyata jalan itu dekat saja dan mudah ditemukan. Tidak lebih dari semenit sejak saya kontak saya sudah melihat bapak pemilik rumah yang saya tuju berdiri di pinggir jalan. Yahh, akhirnya saya benar-benar sampai di Banjarmasin jam 20.an waktu Banjarmasin (WITA) atau jam 19.an Malang (WIB).

Maaf, saya belum bercerita mengenai acara makan-makan. Perjalanan ini begitu panjang, hingga melelahkan. Bahkan saat ada kesempatan makanpun tidak saya gunakan. Tunggulah besok, pasti saya hidangkan.

(bersambung)

Sebelumnya : Berpisah

Sesudahnya : Gambar yang Menipu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline