Lihat ke Halaman Asli

Menjaga Api Asmara

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sahabat, sudah cukup lama saya tidak menulis di kompasiana. Banyaknya acara yang kerap menguras hampir semua tenaga, tidak memungkinkan untuk berbagi cerita. Namun malam ini, di tengah segala kesibukan yang belum juga mereda, saya menyempatkan berbagi sedikit cerita.

Sore tadi, sehabis mengikuti perayaan ekaristi di Gereja, saya berjalan-jalan sejenak di keramaian kota. Berdua bersama sahabat lama yang baru datang dari Timor Leste, kami mengayunkan langkah ke Federation Square. Jam masih menunjukkan angka 4 lewat sedikit, namun tusukan angin dingin sudah sangat kuat, dan gelap mulai merambat turun.

Langkah kaki kami terhenti di sebelah studio SBS TV. Api unggun menyala dijaga seorang satpam menarik perhatian kami. ‘Ada api ungun di tengah kota Melbourne’. Hmmm, pasti ada sesuatu sedang terjadi di sini. Saya pikir api unggun itu hanya api biasa yang digunakan untuk menghangatkan badan di tengah tusukan angin musim dingin. Ternyata memang ada gelaran the light in winter.

Saya tidak akan bercerita mengenai acara tersebut, karena Anda bisa mengunjunginya di sini. Saya akan bercerita mengenai apa yang saya pikirkan sembari saya berdiang di dekat api unggun tersebut.

Ada banyak hal yang saya pikirkan tatkala menghangatkan badan di sebelah api unggun tersebut. Misalnya, saya membayangkan semangat yang menyala-nyala, yang berkobar-kobar. Ya, api adalah gambaran semangat. Maka kata semangat selalu dekat dengan ungkapan gelora dan membakar. Yang menggelora dan membakar adalah api. Ah ini hal biasa, tidak perlu dibahas lebih jauh.

Saya juga menemukan kata ‘hidup’ tatkala melihat api. Api adalah hidup. Mereka yang hidup memiliki panas, memiliki api dalam dirinya. Segala tumbuhan membutuhkan cahaya, dan cahaya itu lahir dari panas, lahir dari api. Api sebagai hidup juga dekat dengan api sebagai semangat, maka saya juga tidak akan memperpanjang pemikiran ini.

Ada juga pemikiran mengenai yang mahakuasa. Sebagian orang melihat kehadiran ‘Tuhan’ dalam api. Atau api menggambarkan salah satu sifat dari ‘yang Mahakuasa’. Membicarakan api sebagai salah satu sifat ‘Yang Mahakuasa’ tentu akan menarik. Sayang saya sendiri tidak tertarik (minimal saat ini) untuk memperdalan ide ini. Mungkin suatu saat nanti.

Api juga menyiratkan bahaya. Maka ada nasihat, ‘jangan bermain api’. Karena kalau berani bermain api mesti siap terbakar nanti. Terbakar artinya terluka, permainan yang mengakibatkan luka tentu berbahaya. Maka bermain api sama dengan bermain dengan bahaya. Cukuplah ini berhenti sebagai nasihat dan mari kita jalani. Sedangkan contoh-contoh bermain api, bermain dengan bahaya, bisa Anda cari di tempat lain.

Masih ada banyak hal yang tercetus dalam kepala tatkala melihat kobaran api unggun itu. Tetapi bukan itu semua yang hendak saya ceritakan lebih jauh. Bukan karena alasan yang saya kemukankan di atas. Yang hendak saya bagikan adalah apa yang pertama keluar dari pikiran saya. Karena yang pertama-tama melesat dari pikiran saya tatkala melihat api unggun itu adalah pemikiran menganai ‘api asmara’.

Api Asmara

Saya juga bingung, mengapa yang pertama muncul dalam kepala saya tatkala melihat api menjilat dari gugusan bara adalah pemikiran ‘api asmara’. Saya sedang tidak jatuh cinta, saya juga tidak sedang putus cinta. Tetapi mengapa saya begitu yakin bahwa api itu erat kaitannya dengan asmara? Inilah yang kemudian saya renungkan.

Kalian yang sudah berkeluarga pasti bisa bercerita lebih banyak dibandingkan saya. Karena saya seorang bujangan, maka yang saya paparkan sungguh merupakan sebuah permenungan hasil pengamatan, bukan pengalaman. Jika ternyata hasil permenungan saya kurang tepat sasaran, mohon dimaafkan. Dan saya sangat yakin bahwa kalian akan memafkan saya.

Kehidupan asmara dalam keluarga, akan hangat mesra kalau api cinta yang ada di dalamnya terus membara. Menjaga api asmara dalam keluarga tetap menyala, saya analogkan dengan menjaga api unggun di pelataran Federation Square ini. Ada seorang petugas yang berdiri si sebelah gugusan api unggun. Ia menambahkan kayu bakar jika kayu sudah mulai terbakar habis. Ia menyingkirkan abu agar serpihan kayu di dalamnya mendapatkan ruang untuk terbakar.

Penjaga api itu tidak membiarkan api menyala besar, karena kayu bakar akan cepat habis dan api akan padam. Sebaliknya ia tidak membiarkan api itu terlalu kecil, karena ada bahaya akan mudah padam. Dan kalau sampai padam akan lebih sulit membuatnya meyala kembali. Penjaga api itu juga tidak terus menerus menambah kayu atau mengatur gerak api unggun. Ia hanya sesekali mengaturnya agar nyala api stabil kembali.

Perilaku penjaga api itu saya renungkan seperti sepasang kekasih/suami istri yang mesti menjaga api asmara dalam keluarganya terus menyala. Menyala selama keluarga itu masih ada. Gelora asmara yang besar membara akan ada bahaya mudah membakar dan membuat gosong pribadi-pribadi yang ada di dalamnya. Hal itu bisa kita lihat dari jilatan cemburu yang kerap membabi buta. Cemburu karena gelora asmara yang terlalu besar, sehingga membakar pasangannya juga. Saying jika ini terjadi.

Namun api asmara yang terlalu kecil berpijar akan ada bahaya mudah padam dan kehidupan cinta menjadi dingin. Hubungan tidak mesra lagi, semua berjalan seperti ‘seolah-olah harus begitu’, statis dan membosankan. Kehidupan seperti ini tentu sangat kurang menyenangkan.

Menambah kayu, menyingkirkan abu, dan mengipasi api unggun; adalah usaha menjaga api unggun tetap menyala stabil. Hal itu bisa dibandingkan dengan menjaga kemesraan, menjaga api asmar adalam keluarga tetap menyala. Berpacaran kembali, janjian kencan kembali, berduaan kembali; adalah hal-hal kecil yang saya renungkan sebagai usaha menjaga api asmara dalam keluarga akan terus menyala.

Sebagian suami menganggap tidak perlu lagi ‘memanjakan’ istrinya. Mereka berpikir setelah menikah sekian lamanya, hal-hal tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi. Sebaliknya, si istri rupanya masih membutuhkan sedikit kata sanjung puji. Bahkan ‘rayuan gombal’ seperti ketika masih pacaran pun kerap masih diimpikan para istri.

Atau juga bisa terjadi di tempat lain. Setelah memiliki anak, dan sibuk dengan urusan anak, banyak ibu kurang memerhatikan penampilan diri. Alhasil, kerap kali suami menjadi kurang bergairah kembali. Tiap pulang dari bekerja selalu menjumpai mantan pacarnya yang sudah tidak menarik lagi. Maka tidak mengherankan kalau akhirnya ada yang jatuh untuk mencari ‘tantangan’ di luar pagar.

Sahabat, pesan saya akhirnya hanya satu. Bagi kalian yang sudah menikah, jagalah api asmara kalian tetap menyala baik. Jika terlalu besar atau terlalu kecil usahakan agar apinya menyala sedang saja. Dan yang pasti tidak perlulah mencari api asmara lain di luar rumah.

Bagi yang belum berumah tangga, bisa juga untuk belajar menjaga api cinta dalam diri menyala baik. Siapa tahu akan ada yang menyambutnya nanti. Yah, siapa tahu. Hmmm, dari pada berkepanjangan kata lebih baik saya akhiri cerita saya ini. Sebelumnya, saya bagikan satu foto api unggun yang dijaga oleh seorang security.

[caption id="attachment_172591" align="alignnone" width="300" caption="foto dok.pri"][/caption]

Salam,

Melbourne, 20-06-2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline