[caption id="attachment_146415" align="alignnone" width="500" caption="ilustrasi diunduh dari papannya babeh Helmi"][/caption]
Hidup memang hanya sekali. Namun sekali itu cukup jika berarti. Bagi saya, arti sebuah hidup ketika memiliki arti bagi yang lain. Alangkah bahagianya hidup jika mampu berbuat sesuatu bagi sesame untuk merasakan hidup yang lebih baik. Pemahaman ini jauh melampaui materi, tetapi nilai hidup itu sendiri.
Tidak ada yang pernah tahu, sepanjang apakah ia hidup. Namun sepanjang apapun hidup seseorang tidak akan menjadi persoalan jika telah dilewati dengan benar. Secara pribadi telah melakukan apa yang terbaik yang ia bisa, dan secara bersama, telah membantu orang yang ada di sekitarnya untuk bertumbuh bersama.
Menjadi Kita: bukan kami, bukan mereka; bukan aku, dan bukan kamu
Seorang filosof mengatakan bahwa hidup manusia mesti menjadi. Awalnya manusia selalu ‘aku’ dan pihak lain adalah ‘kamu’. Dalam perjalanan hidup itu, ‘aku’ dan ‘kamu’ mesti melebur dan menjadi ‘kita’. Pada tahap ini pemahaman akan ‘kami’ juga dilewati, karena jika ada ‘kami’ maka masih ada ‘mereka’.
Mengapa proses perjalanan hidup itu mesti menjadi kita? Agar semua menjadi satu. Mengapa mesti menjadi satu? Agar mampu berkembang dan tumbuh maksimal bersama. Apakah ini bukan pandangan sosialis dan/ atau komunis? Saya kira tidak sejauh itu dan tidak saya maksudkan demikian.
Ketika kelompok terbagi-bagi, ia akan melihat kelompoknya sendiri. Hal ini terjadi karena manusia cenderung melihat dirinya sendiri. Setiap orang memiliki sikap ini, hanya kadarnya erbeda-beda. Maka jika manusia ada dalam satu kesatuan yang sama, mereka akan melihat diri mereka sendiri sekaligus melihat semuanya.
Kenyataan yang terbangun dalam masyarakat tidaklah demikian. Masyarakat terbagi dalam kelompok-kelompok. Entah didasarkan kepada agama, pandangan politik, suku dan masih banyak lagi. Situasinya menjadi makin buruk ketika kelompok yang satu mulai menjelekkan kelompok yang lain, meskipun hal ini jamak terjadi ketika seseorang mulai bangga dengan kelompoknya. Namun keadaan berubah menjadi buruk ketika nilai-nilai kehidupan tidak ditaburkan. Melainkan benih-benih kebencian dan dendam yang ditanam.
Kompasiana, sebagai ‘rumah sehat’ sejatinya sudah berusaha meleburkan kelompok-kelompok itu menjadi ‘kita’. Tiap pribadi yang terlibat di dalamnya, sejatinya adalah pribadi-pribadi yang lepas dan memiliki ‘kekuatan’ sendiri. Namun ketika masuk dalam ‘rumah sehat’ ini semuanya melebur. Meski sekali lagi, masih ada yang lebih suka menabur ranjau dari pada benih kehidupan.
Seribu Tangan Cinta dalam Proses Menjadi
Puji Tuhan, bahwa di antara kegiatan berbagi gagasan dan saling terhubung dalam pertemanan maya, mulai terbentuk embrio untuk membuat kelompok nyata. Beberapa kali pertemuan, dalam kopdar, nangkring bareng, modis, dll, mulai menyari dan sebagian dari mereka mulai mencari bentuk untuk menjadi. Sebuah perkumpulan yang seluruh kegiatannya diarahkan kepada karya sosial. Itulah pilihan mereka.
Saya yang berada di tempat jauh tentu saja tidak pernah menikmati asyiknya kopdar, nangkring bareng, maupun modis. Toh buah-buah dari segala kegiatan itu bisa saya nikmati, entah melalui foto atau tulisan. Setelah menyimak beberapa tulisan dari teman-teman, saya mulai memahami bahwa aka nada ‘gerakan’. Tentu saja saya senang mendapatinya dan tergerak untuk bergabung.
Saya tidak tahu, apakah perkumpulan yang mulai digagas ini sudah mendata para anggotanya. Sejauh yang saya ingat ada grup fesbuk yang mengelolanya. Saya andaikan, dengan bergabung dalam grup itu berarti saya sudah tergabung dalam kelompok STC tersebut.
Saya andaikan saya adalah anggota sah STC. Maka ketika ada kegiatan untuk memilih logo perkumpulan, saya mengikutinya. Juga ketika pemilihan itu mesti diulang lagi dengan gambar logo yang baru. Ketika ada kegiatan mendukung calon koordinator saya juga mengipasinya mengipasinya. STC dalam sebuah langkah menajdi. Tentu saja untuk banyak hal masih remang-remang dan lentur. Belum ada yang benar-benar gamblang dan keras. Itu hal yangs angat wajar dan mesti dilewati.
Ketika Mesti Memilih
Dalam beberapa kesempatan saya mendukung siapapun yang terpilih menjadi koordinator. Dasar pemikiran saya jelas, saya tidak kenal secara pribadi dengan semua calon, bahkan dengan hampir semua anggota. Saya tidak pernah bisa benar-benar terlibat secara nyata. Karena keberadaan saya yang tidak nyata, maka keterlibatan saya pun pasti tidak nyata.
Namun setelah merenung, toh akhirnya saya putuskan untuk menentukan dukungan. BABEH HELMI adalah calon koordinator yang saya dukung. Dasar pemikiran saya juga sederhana. Selama ini saya mendapatkan banyak informasi mengenai STC dari tulisan yang dibuat oleh BABEH. Maka sangat masuk akal kalau saya pilih beliau sebagai koordinator STC.
Penutup
Babeh Helmi dalam kampanyenya mengatakan bahwa STC itu bukan khayalan dan angan-angan. STC adalah sebuah harapan. Dan bagi saya pribadi STC adalah bagian penting dari proses menjadi. Yaitu menjadikan kehidupan menjadi lebih baik. Ada harapan yang tertanam dalam tumbuhnya STC, dan harapan itu akan tumbuh menjadi buah yang baik kalau dirawat dengan baik pula. Semoga STC sungguh menjadi perkumpulan yang membangun masyarakat.
Salam,
Melbourne, 21-05-2010
(maaf tulisannya agak kacau, dingin menyengat membuat kepala serasa beku, hingga gagasan tidak lancar mengalir)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H