Lihat ke Halaman Asli

Ibu Para Malaikat

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kawan, pernahkah kalian memberi sesuatu tanpa mengharapkan imbalan apa-apa? Pasti pernah dan mungkin sering. Yang hendak saya bagikan ini adalah kisah seorang ibu yang sejak kecil telah belajar memberi tanpa mengharapkan balasan. Ia berbagi dengan mereka yang oleh sebagian orang dipandang sebagai sampah.

Yang ia berikan pertama-tama bukanlah harta dan materi, karena ibu ini bukanlah perempuan yang kaya.Yang ia bagikan adalah cinta. “Jangan melihat seberapa besar apa yang telah kami buat, tetapi lihatlah betapa besarnya cinta yang telah kami berikan.” Ia memberikan cinta kepada orang-orang gila, gelandangan gila, orang-orang stress, mereka yang depresi berat hingga melakukan percobaan bunuh diri, dll.

Perempuan berusia 50 tahun ini sudah mulai berbagi kasih dengan orang-orang yang tidak dipedulikan oleh masyarakat ini sejak ia duduk di sekolah dasar. Saat itu ia baru berusia 9 tahun. Ia melihat orangtuanya melakukan itu, dan terdorong untuk mengikutinya, sampai sekarang.

Ia berjalan di lorong-lorong kota, di kolong-kolong jembatan, di gerbong-gerbong kereta yang tidak terpakai lagi. Terkadang cuaca kurang bersahabat, hujan, panas, toh ia terus berkeliling mencari orang gila, gelandangan gila. Ia mencari untuk membagi kasih yang tulus dalam rupa sebungkus nasi, sebutir obat untuk yang sakit, dan seutas sapaan untuk mereka.

Pengalaman selama 40 tahun ini mengajarinya bahwa, orang gila tersebut bisa disembuhkan bahkan dengan obat yang sederhana dan murah, asal dilandasi cinta yang besar. Ia melakukan tersebut, ia memiliki cinta yang sangat besar tersebut. Cinta yang besar itu dilandasi empati yang besar pula, bahwa orang-orang kurang beruntung itu mesti ditolong.

Meski ia melakukan karya yang luar biasa toh kerap mendapatkan kendala. Terutama transportasi, apalagi kalau ada gelandangan yang sakit atau terluka. Jarang sekali ada angkot yang mau mengangkutnya. Kalaupun ada, mereka meminta bayaran yang sangat tinggi. Toh sejak ia memulai karyanya di Jawa Tengah, kampung halamannya dulu, dan sampai sekarang ketika ia pindah ke Jakarta, ia tidak menyerah.

Ia berusaha memberikan tempat yang cukup layak untuk rumah singgah sementara bagi para pasien tersebut. Ia membutuhkan sebuah rumah yang memenuhi standart kesehatan untuk menampung orang-orang yang ia bawa dari stasiun, dari lorong-lorong jalan. “Ruang yang bersih dan sehat, sapaan yang benar dan tepat akan sangat membantu proses penyembuhan” demekian dijelaskan olehnya. Jika ada pasien yang berontak dan berlaku kasar, untuk sementara memang bisa diikat, namun itu hanya sementara saja, yang terpenting adalah melayani mereka dengan kasih.

Selain membawa pasien-pasien itu ke rumah singgahnya yang ia beri nama Griya Malaikat, ia juga mengunjungi ‘para malaikatnya’ itu di rumah mereka. Ia berbicara dengan keluarganya, bagaimana mesti menangani anggota keluarga yang ‘sakit’, bagaimana berkomunikasi dengan mereka. Ia juga mengantar obat-obatan, bahkan kerapkali ia memandikan ‘sahabat’nya tersebut dan menyuapi mereka.

Kawan, melihat kiprah ibu tersebut saya hanya bisa terpaku. Ia telah mengajar dengan perbuatannya. Ia seperti pengkhotbah ulung tanpa kata. Ia sangat murah hati, bukan karena suka berbagi rejeki, tetapi karena ia selalu berbagi hati. Ia membagi kasih dan tidak pernah mengharapkan imbalan dan pamrih. Ia tulus mencintai, dan membagikannya kepada orang-orang yang dianggap sampah oleh sesamanya.

Kepedulian ibu yang memilih mengabdikan diri seutuhnya untuk sesama ini rupanya menarik banyak simpatisan. Ada banyak orang mau menjadi sukarelawan untuk membantu kiprahnya. Tentu para sukarelawan ini tidak seutuhnya bekerja di sana. Kebanyakn adalah orang-orang yang ingin ‘live ini’ bersama orang-orang gila. Toh mereka memang patut didukung baik secara materiil untuk menampung para pasien itu maupun moril dan semangat.

Angelic Dolly Pudjowati, demikian nama ibu yang cintanya melimpah ruah untuk sahabat-sahabat yang oleh masyarakat dianggap sampah, perusak pemandangan indah kota. Terimakasih karena Engkau telah mengajarku bagaimana mesti berbagi, bagaimana mesti bersikap murah hati.

Kawan, saya tidak bisa membagikan klip tentang Ibu Angelic ini, karena saya tidak berhasil menemukannya. Jika nanti saya menemukannya, pasti akan saya bagikan. Jika kalian tertarik untuk melihat lebih dekat bagaimana aktivitas mereka, silahkan datang ke Yayasan Griya Malaikat (Home of Angel) Perumahan Irigasi Danita Jl. Irigasi Danita Raya C1 No.2 Bekasi Timur 17112. Dan jika memang kalian ke sana, sampaikan salamku kepada ibu para malaikat ini. (rw)

Salam

Melbourne, 01-03-10

dari berbagai sumber

KISAH INSPIRATIONAL LAINNYA:

The Proud Parent. (email dari kawan)

Panggil Saja Dia OTO

Namanya Dick Hoyt

Namanya Mattie Stepanek

Namanya Tony Melendez

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline