Lihat ke Halaman Asli

Mirah Mau Jadi Bupati

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_84532" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi dari www.images.google.com.au"][/caption] Gonjang-ganjing pencalonan Ayu Askaria, artis dari ibukota yang ingin menjadi wakil bupati ternyata mampir juga ke telinga Mirah. Sebagai sesama perempuan Mirah kecewa karena kaumnya gagal maju karena akasan tekhnis. Hmmm tekhnis atau praktis atau politis ya. Ndak tahulah, yang jelas, Mirah ikut kecewa.

“Pasti orang-orang itu sirik saja dengan Ayu yang cantik. Dasar orang suka sirik.” Gerundelan Mirah dalam hati. Kekecewaan dan kemarahan Mirah itu membuat semangatnya bergelora dan jiwa politisnya terbakar. Diapun memutuskan untuk ikut maju dalam pencalonan bupati.

Ternyata niat tersebut tidak gampang. Halangan pertama datang dari eyangnya.

“Mirah. Kamu itu benar-benar kurang tidur. Lha kamu mau mencalonkan diri menjadi bupati itu modalmu apa.”

“Modal semangat Eyang.”

“Semangat. Semangat apaan. Paling juga kamu semangat buat merebut suami orang.”

“Eeee, jangan salah Eyang. Mirah itu, begini-begini paham benar mengenai perpolitikan.”

“O iya, pengalaman berpolitikmu itu apa?”

“Eeee, jangan salah Eyang. Kemarin lusa saya diundang rapat sama pak eRTe mengenai mata-mata Israel. Itu nggak sembarangan. Tidak semua orang diundang rapat.”

“Hmmm, terus?”

“Diskusi dalam mimpi di kampung Tarkomed.”

“MIMPI?”

“Eeee, jangan salah Eyang. Sekarang ini sulit dibedakan antara mimpi dengan kenyataan. Mimpi itu terkadang dijadikan kenyataan dan kenyataan dijadikan mimpi.”

“Ooo begitu. Coba kamu beri contoh, itu pernyataanmu itu. Kok kamu berbicara seperti professor saja. Jangan menjiplak omongan orang lho ya. Itu namanya plagiat.”

“Eeee, jangan salah Eyang….”

“SUDAH. A-E-A-E terus, mana contohnya.”

“Eeee…”

“HALAH! SUDAH!”

“Kok Eyang jadi sewot. Khan biasanya Mirah yang sewot?”

“Lha kamu ngomong nggak jelas begitu. KMAU PERLU TAHU YA, EYANG INI DARAH TINGGI, KALAU KAMU GA JELAS BEGITU EYANG BISA MARAH!!!!”

“Ouwww, Eyang bisa marah rupanya. Tenang Eyang. Don’t be angry. Ntar cepat tua.”

“Jangan meledek ya. Meskipun sudah 75 tahun eyang ini masih muda, masih lincah. Kamu jangan mengalihkan perhatian ya. Coba jelaskan tadi yang mimpi dan kenyataan tadi, kalau tidak bisa memberi penjelasan yang memuaskan, lebih baik kamu kembali tidur dan melanjutkan mimpi.”

“OK deh Eyang OKE! MIRAH AKAN BERI KLARIFIKASI.”

“Waduh. Kamu sudah menggunakan bahasa-bahasa yang tidak kamu mengerti ya agar kamu dianggap intelek.”

“Eyang, Klasifikasinya diteruskan atau tidak!”

(pada bagian ini, eyang menutup mulut sekuat tenaga agar tawanya tidak meledak. Sedangkan Mirah dengan sedikit mendongakkan dagu mengambil langkah untuk melanjutkan cerita)

“Eyang masih ingat kasus lumpur di kampung Sidodarjo? Itu kenyataan Eyang, tetapi lilatlah, semuanya dianggap seperti mimpi. Sebagai mimpi yang setelah bangun tidur, semua akan kembali normal. Perkampungan yang hilang dan tenggelam, jalur transportasi yang menjadi sulit itu semua akan kembali normal ketika bangun dari tidur. Itu kenyataan yang menjadi mimpi Eyang!”

“Terus, mimpi yang menjadi kenyataan?”

“Eeee, jangan salah Eyang.” (sebentar, sebenarnya di sini eyang mau protes, tapi dia menahn diri). “Impian banyak orang untuk mendapat uang dengan mudah akhirnya terlaksana. Koperasi milik kelurahan akhirnya mengucurkan dana pada koperasi Kasuari. Katanya, kalau koperasi kasuari tidak diberi dana, nanti kelurahan kita akan terkena bencana sistemik. Itu mimpi Eyang, mimpi yang ajdi kenyataan.”

Sejenak Mirah dan Eyangnya terdiam. Mereka sibuk dengan bayangan masing-masing. Agar bisa memahami, saya ceritakan sedikit bayangan di kepala Mirah.

Dengan berbaju merah, bibir merona merah merekah, Mirah melangkah gagah. Di lapangan ia telah ditunggu pak Lurah dan sejawatnya. Hari itu Mirah dijadwalkan akan memberikan penjelasan mengenai visi dan misinya sebagai calon bupati. Lapangan kelurahan telah dipadati simpatisan yang kesemuanya berbaju merah. Sementara itu di panggung hiburan, trio kucing mendendangkan lagi satu merah, sebuah lagu yang diadaptasi dari lagu satu-satu. Syairnya cukup menarik, perhatikan saja: satu-satu aku sayang Mirah,/ dua-dua juga sayang Mirah, /tiga-tiga sayang warna merah./ Satu-dua-tiga, sayang sama Mirah.

Hmmm, sekarang saya coba bayangkan apa yang ada di pikiran eyangnya Mirah. Hmmm. Hmmm. Kok sulit ya. Semua hitam. Sepertinya Eyangnya Mirah tidak membayangkan apa-apa. Kalau begitu kita kembali kepada bayangan Mirah.

Panggung kehormatan masih menjadi pusat perhatian seluruh konstituen. Mereka bergoyang dan mengeong mengikuti goyang dan desahan trio kucing. Lagu satu merah satu Mirah terus menggema dari stadion kelurahan. Mirahpun tak lupa ikut bergoyang sesuai irama, geol ke kiri dan ke kanan. Pokoknya seirama. Hingga tibalah saat Mirah menyampaikan visi dan misinya.

“Sodari-Sodara sekelurahan. Yang saya cintai dan sayangi. Inilah sepuluh visi dan misi saya. Saya sebutkan di sini agar nanti dalam pemerintahan saya, kalian bisa menagih apa yang sudah saya janjikan. Saya seorang ksatria yang tidak akan lari dari tanggungjawab. Yang tidaka kan gampang mengeluh. Saya adalah Mirah, janda kembang kampung.

Sodari-sodara yang saya hirmati. Kalau saya menjadi bupati, semua kebutuhan saya jamin akan berwarna merah, artinya murah meriah. Pasti! Pasti! Kalau Mirah menjadi Bupati, semua harga menjadi murah. Itu yang pertama. Yang kedua sama dengan yang pertama. Demikian juga dengan yang ketiga sama dengan yang kedua. Baru yang keempat sama dengan yang ketiga. JANGAN BINGUNG SODARI SODARA. Program yang jelas harus mudah dimengerti. Jangan banyak-banyak. Karena kalau terlalu banyak, aka nada banyak ganjalan. Cukuplah satu ganjalan saja.”

Mendengar pidato Mirah yang merah membara, seluruh konstituennya bersorah tiada hentinya,

“Mirah… MIRAH…! MIRAH…!!!”

“Tenang sodara-sodari…tenang!”

“Eh, kamu tidur ya. Bangun! Ada sinetron baru, bergenre komedi. Ceritanya lucu. Ada bupati punya dua istri. (Kok bisa ya bupati punya dua istri, sudahlah, namanya juga sinetron) trus dua istrinya ini sekarang maju menjadi calon bupati menggantikan suaminya. Pasti seru deh sinetronnya.”

“Apa Eyang, saya didukung istri bupati jadi Bupati? Ahhh mantap itu Eyang.”

“MIRAHHHHHHHH ADA SINETRON BARU. PARA ISTRI REBUTAN JADI BUPATI”

“HAPAAAAAA……………..”

(selesailah bagian ini)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline