Pekerja Kantoran dan Krisis Iklim
Krisis Iklim didahului dengan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang terus meningkat dari berbagai kegiatan manusia di bumi ini. Berbagai kegiatan seperti penggunaan bahan bakar minyak secara masif dikarena mobilisasi ke tempat satu dan lainnya, pemakaian listrik, dan kegiatan lainnya yang berbeda-beda berdasarkan karakteristik masyarakat itu sendiri, seperti gender dengan latar kegiatan yang berbeda-beda. Peningkatan Gas Rumah Kaca ini yang membuat pemanasan global semakin tinggi. GRK yang terlibat dalam pemanasan global terdiri dari CO2, NH4, dan N2O Gas tersebut dihasilkan dari pembakaran yang tidak sempurna.
Penumpukan konsentrasi GRK di atmosfer diprediksi dapat meningkatkan temperatur bumi sebesar dua derajat Celcius pada tahun 2100 menurut kajian yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Hal ini yang dinamakan dengan terjadinya Krisis Iklim ketika suhu global meningkat derastis dan berdampak luas pada kerugian diberbagai sektor.
Namun pada saat pandemi Covid-19 kemarin terjadi, sempat ramai diperbincangkan juga diberbagai forum bahwa keberadaannya membawa beberapa perubahan, termasuk hal positif pada sektor lingkungan. Dengan adanya covid-19 telah terjadi pengurangan mobilisasi masyarakat secara masif yang membuat alam seperti melakukan pemulihan sendiri dari GRK. Indonesia yang menerapkan kebijakan pembatasan mobilisasi dengan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali tersebut dianggap berhasil menurunkan penyebaran covid-19 dan penurunan polusi secara bersamaan.
Beberapa penelitian telah dilakukan terkait penurunan emisi GRK dengan pembatasan skala sosial akibat pandemi Covid-19, akan tetapi belum terdapat penelitian yang menjelaskan potensi penurunan emisi GRK secara kuantitatif pada kegiatan perkantoran selama pemberlakuan pembatasan skala sosial secara detail dan bisa dijadikan tolak ukur atau indikator dari pengambilan keputusan yang bisa dipergunakan dalam membuat kebijakan, utamanya dalam mengatasi krisis iklim.
Krisis iklim tidak bisa kita hiraukan lagi karena dampaknya telah mengancam secara langsung seperti adanya kenaikan muka air laut secara signifikan dan peningkatan kejadian bencana khususnya bencana hidrometerologi, serta cuaca ekstrem. Dampak lain dari krisis iklim adalah penurunan kualitas dan kuantitas air, ketersediaan pangan hingga sampai kerugian tidak langsung seperti wabah penyakit. Tentu hal ini sudah kita rasakan bersama.
Memasuki tahun kedua Covid-19, Indonesia melakukan upaya pemulihan ekonomi yang mulai merenggangkan kembali mobilitas untuk menciptakan pergerakan ekonomi yang lebih besar.
Namun berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh perusahaan teknologi Microsoft Corp secara global (termasuk di Indonesia), menemukan hasil bahwa sebanyak 83 persen pekerja di Tanah Air menginginkan adanya opsi kerja dari jarak jauh seperti Work From Home (WFH). Karena disinyalir pekerjaan jarak jauh lebih fleksibel untuk melakukan banyak hal termasuk pekerjaan yang bisa diselesaikan lebih efektif dan efisien.
Dan lebih dari 72 persen pemimpin bisnis di Indonesia berencana untuk mendesain ulang kantor untuk mendukung model pekerjaan hibrida atau menerapkan bekerja dari kantor dan dari rumah. Keinginan dan kebiasaan yang berjalan ini tervalidasi dari beberapa penelitian termasuk hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendra Kurniawan di lingkungan Kantor PLN di Palembang, bahwa Implementasi kebijakan Work From Office (WFO) dan WFH telah mengurangi aktivitas mobilisasi dan penggunaan energi di lingkungan perkantoran sehingga berdampak langsung terhadap penurunan emisi GRK secara keseluruhan.
Meskipun sampai pada hari ini, masih banyak kantor yang mulai membagi pekerjaan bukan hanya berdasarkan domisili pekerjaan melainkan pekerjaan yang bisa dilakukan dengan bekerja dari rumah atau dari kantor atau bahkan saat ini banyak lowongan pekerjaan yang tempat kerjanya di mana saja. Kefektifan ini bukan hanya secara lingkungan melainkan dari segi lalulintas perkotaan dapat memecah kemacetan.
Secara logika kita apa yang telah dijelaskan di atas sangatlah masuk akal dan bisa diterima secara nalar meskipun secara keefektifan dan efisiensi mengenai hitungan bisnis dan eksternalitas positif yang bisa diterima belum dapat diukur dengan baik, namun ke depan apakah kebijakan WFH dan WFO ini perlu diatur dalam kebijakan yang lebih luas, sehingga perusahaan dan instansi yang mempekerjaan orang yang pekerjaannya bisa dilakukan dari jarak jauh bisa lebih masif dilakukan dan pembiyaannya bisa dialihkan dalam meningkatkan pelayanan dasar dan pemulihan lingkungan yang jauh lebih progressif lagi ke depan.