Beberapa bulan yang sudah lewat, saat Aku mengulang untuk mendengarkan rekaman Ngaji Filsafat dari Dr. fahruddin Faiz, ada satu cerita yang menurutku unik, dan masih terngiang-ngiang sampai saat ini.
Ada seorang Raja yang bermata hanya sebelah, satu matanya entah terkena apa, intinya satu mata saja yang hanya berfungsi.
Si raja menyuruh untuk dilukiskan oleh tiga pelukis. Saat dicek pelukis pertama menggambarkan dengan indah dan bermata lengkap.
Sang Raja lalu marah dan menghukumnya, karena beliau menganggap pelukis itu tidak menggambarkan sebuah kebenaran. Karena yang benar beliau buta sebelah.
Lalu pelukis kedua dinilai, ia menggambar apa adanya, dengan mata hanya sebelah. Melihat itu sang Raja juga marah, dan memerintahkan pengawal untuk menghukumnya juga. karena ia feels embarassed, atau melihat tampang kacaunya saja. Bahasa pak Dr. Fahruddin Faiz saat itu seingatku kalau "ngenyek". Walaupun memang benar keadaannya seperti itu, tapi ada sisi kurang tepatnya memang menggambarkan raja yang agung dengan mata yang buta.
Dari kedua pelukis tadi kita dapat belajar, bahwa menjadi orang yang mengungkapkan apa adanya atau realnya bagaimana saja tidak cukup. Apalagi sampai mencitrakan suatu hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, seperti yang dilakukan oleh pelukis pertama.
Kita menuju penilaian pelukis ketiga, pelukis ketiga menggambarkan wajah Sang Raja dari samping. Akhirnya hanya mata raja yang sehatlah yang kelihatan, sedangkan mata yang buta secara otomatis tidak terlihat.
Pelukis terakhir ini tak berbohong, tetapi juga sanggup tidak memperlihatkan cacat Sang Raja. Inilah kebijaksanaan.
Saya walaupun Aku juga memang seorang pelukis, namun ketika dihadapkan dengan persoalan seperti ini, tentu bingung juga saat itu. Bahkan saat mendengar uraian Pak Dr. Fahruddin Faiz, selalu ku nantikan inti kebijaksanaan yang akan keluar, ternyata luar biasa.
Cerita ini ternyata baru-baru ini juga ku temukan di buku Cak Nun, atau Emha Ainun Nadjib yang berjudul "Sedang Tuhan Pun Cemburu"