Ketika selesai membaca buku ini untuk kedua kalinya, saya baru yakin kalau saya telah menjadi bagian dari sebuah media sosial terbesar di Indonesia, atau lebih dari itu jika mengamini pendapat sang penulis buku, boleh dikatakan sebagai blog sosial terdepan di asia bahkan dunia.
Seberapa jauh pendapat tersebut benar adanya, faktanya Kompasiana telah menciptakan loncatan besar dalam ranah media sosial di Indonesia. Dari hanya sebuah blog untuk komunitas yang terbatas, Kompasiana melesat sebagai nama yang dikenal luas. Kompasiana menjadi fenonema, padahal ia “hanyalah” sebuah etalase warga biasa. Kompasiana adalah cerita tentang pencapaian dari sebuah perjuangan idealisme yang ditempuh lewat perjalanan kreatif yang mengesankan dan pantas dibanggakan.
“Kompasiana Etalase Warga Biasa”, itulah judul buku ini. Ditulis oleh Pepih Nugraha, wartawan Kompas juga redaktur pelaksana komunitas kompas.com yang melahirkan dan membangun Kompasiana.
Kompasiana Etalase Warga Biasa karya Pepih Nugraha
Ini bukan buku sejarah Kompasiana, meski 30% isinya memuat cerita asal mula dan segala proses kreatif yang berkaitan dengan kelahirannya. Buku ini juga jauh dari rasa besar kepala meski di dalamnya terungkap sejumlah pemikiran dan pencapaian hebat yang tak banyak orang tahu tentang Kompasiana. Buku ini lebih dari itu semua, melebihi ekspektasi orang jika hanya membaca judulnya.
Dengan bahasa yang renyah buku ini mengalir seperti catatan harian sang penulisnya. Setidaknya isi buku dibuka dengan kalimat “Akhir Oktober 2012, saya terlambat hadir di Rapat Redaksi Harian Kompas yang berlangsung setiap Rabu”. Itulah kalimat pertama bab 1 buku bersampul putih ini.
Dari 22 Bab, buku ini bisa dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama dimulai dari bab 1 hingga 10 di mana buku ini menceritakan mengenai Kompasiana, sejarah kelahirannya, bagaimana ia dilahirkan, bagaimana ia tumbuh, merangkak lalu mencoba berdiri hingga kemudian menemukan jati diri (brand images). Semua ditulis dengan gaya bertutur mengalir dan ringan sehingga tak perlu khawatir akan menemukan cerita sejarah yang “melelahkan”. Sebaliknya bagian pertama ini menjadi yang paling menarik dan penting karena kaya akan informasi dan rahasia dari Kompasiana dan Pepih Nugraha yang tak banyak orang tahu termasuk anggota Kompasiana (kompasianer) sendiri.
Kompasiana yang sempat dianggap remeh dan kurang bermanfaat oleh "kalangan dalam" Kompas sendiri.
Bagaimana metamorfosa Kompasiana dari sekedar blog jurnalis Kompas, lalu merambah jurnalis di lingkungan Kompas Gramedia, kemudian menggundang blogger tamu hingga akhirnya menjadi blog bersama yang dihuni sekitar 200.000 warga biasa. Siapa yang menyangka bahwa Kompasiana sempat menjadi bayi yang tak diharapkan justru oleh kalangan dalam Kompas sendiri. Olok-olok mengiringi langkah awal Kompasiana di saat ia seharusnya mendapatkan banyak dukungan untuk mengawali langkahnya. Cibiran tak hanya ditujukan kepada Kompasiana sebagai media sosial tetapi juga kepada Pepih Nugraha sang kreatornya. Seperti apa olok-olok tersebut, mengapa Kompasiana dicibir dan bagaimana ia serta Pepih mengelolanya sebagai energi positif dapat ditemukan di bagian pertama ini, antara lain pada halaman 3 hingga 11.
Di bagian pertama juga terungkap bagaimana nama Kompasiana muncul. Sejumlah sosok yang berjasa di balik kemunculannya diangkat secara sepintas. Ada juga curahan hati sang pendiri tentang beratnya menanggung beban nama “Kompas” di Kompasiana. Apalagi nama Kompasiana lebih dulu melekat pada sang pendiri Kompas PK Ojong. Lalu seperti apa perbandingan KompasianaPK Ojong dan Kompasiana ala Pepih Nugraha?. Buku ini tak lupa mengupasnya.
Ada banyak “surprise” di bagian pertama ini. Termasuk sang penulis yang tak segan mengkritik Kompas demi mempertahankan idealismenya bersama Kompasiana. Bocoran mengenai sejumlah hal yang selama ini dianggap terobosan tapi sebenarnya dibuat sebagai langkah darurat untuk menyelamatkan Kompasiana. Bagaimana Pepih Nugraha bekerja mempertaruhkan kepercayaan yang diberikan untuk membangun Kompasiana dengan segala ketidakpastian hingga di satu titik blog ini sepertinya tidak akan bertahan lama. Konflik batin Pepih terasa di sini.
Kompasiana dalam olok-olok dan cibiran.
Bagian pertama memang sangat kental dengan sejarah, rahasia, titik balik serta perjalanan kreatif Kompasiana dan Pepih Nugraha. Tak banyak yang tahu bagaimana proses belajar dan kreatif yang dilakukan untuk melahirkan dan menemukan jati diri Kompasiana, termasuk ketika Kompasiana dan Pepih harus “menyadap” ilmu dari blog serupa yang lebih dulu ada seperti ABN dan Panyingkul (Indonesia), Stomp (Singapura) hingga OhmyNews (Korea Selatan). Jika sudah membaca bagian ini saya yakin anda akan berkata “luar biasa”.
Bagian kedua terdiri dari bab 11 hingga 14, bercerita tentang harapan yang sebenarnya telah ada semenjak Kompasiana masih dalam tahap rancang bangun, lalu dilahirkan sampai cita-cita yang diharapkan dari Kompasiana di masa mendatang. Di bagian ini kita bisa melihat dengan lebih jelas ruh Kompasiana.
Halaman berwarna hijau mengawali setiap bab dalam buku ini.
Satu kesan yang kuat terasa pada bagian ini adalah idealisme Pepih Nugraha. Di 4 bab tersebut kita akan menemukan bahwa Kompasiana tak dapat dipisahkan dari Pepih Nugraha. Benar bahwa Kompasiana mewarisi DNA Kompas dan memiliki gen kompas.com. Tapi buku ini menunjukkan bahwa faktor asuhan yang mempengaruhi ekspresi DNA dan gen tersebut berasal dari Pepih Nugraha dan tim yang di kemudian hari bergabung di dapur Kompasiana. Tersirat memang, tapi bab ini menunjukkan idealisme seorang Pepih Nugraha yang dicangkokkan ke dalam Kompasiana. Oleh karena itu di 4 bab ini kita akan menemukan hal-hal yang lebih spesifik dari Kompasiana seperti platform, pemikiran tentang konsep berbagi serta inovasi yang telah, sedang dan akan dikembangkan oleh Kompasiana.
Bagian tiga terdiri dari 8 bab terakhir. Berisi tentang pencapaian dan sejumlah fenomena yang dilahirkan oleh Kompasiana atau tercipta bersama Kompasiana. Di bab 15 misalnya, kita akan tahu lebih banyak tentang freez. Lagi-lagi rahasia diungkap, bagaimana sebenarnya lembar freez di Harian Kompas saat ini adalah sebuah kompromi dari kegagalan Kompasiana menerbitkan majalah karena tidak disetujui oleh manajemen. Di bab ini juga terungkap bagaimana jurnalisme hibrida sebagai terobosan out of the box dipraktikkan oleh Kompasana dan Pepih Nugraha yang mengkombinasikan media sosial dan media mainstream melalui pemuatan reportase warga di kompas.com.
Gagasan, fakta dan rahasia di balik freez diungkap pada bab 15. Setidaknya ada foto lembar freez yang memuat tulisan dan nama saya tertulis kecil di sana.
Pertanyaan yang sudah lama dan banyak diajukan masyarakat termasuk oleh para Kompasianer dijawab di sini.
Selanjutnya di bab 16 dan 17 diulas bagaimana potensi suara warga biasa sekaligus kekuatan kompasiana sebagai media sosial yang mampu melahirkan fenomena yang kerap mempengaruhi media mainstream. Kasus Damar vs Andrea Hirata, tulisan Seand Munir tentang kecelakaan pesawat Sukhoi dan laporan 2 kompasianer tentang razia Indomie di Taiwan diangkat sebagai contoh.
Pencapaian lain berupa lahirnya sejumlah komunitas seperti Kampretos, Koplak Yo Band, Buku kolaborasi kompasianer hingga lahirnya Kompasiana Modis, Kompasiana Nangkring dan sebagainya dari sebuah Kopdar sederhana juga disinggung. Tak ketinggalan penegasan mengenai identitas Kompasiana dijawab di bagian ini. Apakah Kompasiana sebuah media jurnalisme warga?. Jawabannya “BUKAN”, Mengapa demikian?. Temukan alasannya di bab 18.
Buku ini memang diary dari Pepih Nugraha. Diary tentang cintanya terhadap “anak” yang dilahirkan dan diasuhnya dengan banyak pertaruhan dan perjuangan. Jika pada akhirnya Kompasiana terbukti tahan banting, itu karena ia lahir dan tumbuh bersama dengan ketahanan dan ketekunan Pepih Nugraha yang ngotot Kompasiana harus tetap ada bagaimanapun caranya.
Cinta, itulah yang kuat terbaca pada bab 21 hingga akhirnya buku ini sampai di Epilog. Saya mendadak sendu ketika tiba di bagian tersebut. Tak mungkin Kompasiana bisa seperti saat ini, setelah sebelumnya nyaris mati dan kurang diminati. Jika tak ada cinta yang luar biasa dari orang sudah melahirkannya, Kompasiana mungkin tak akan sampai di usianya yang ke-5 saat ini. Buku ini pun ditulis dengan cinta.
Meskipun demikian bukan berarti buku ini tidak memiliki kekurangan. Sejumlah kesalahan penulisan maupun kata yang tak lengkap terketik dapat ditemui di beberapa halaman. Bab 16 yang berjudul “Diaspora Indonesia dan Perlindungan Hukum Penulisannya” bahkan terasa ganjil jika melihat isinya. Bab ini lebih banyak memuat kronologi kasus Damar vs Andrea Hirata dan Prita vs RS. Omni. Sementara bagian Diaspora Indonesia hanya berupa tulisan pendek 3 alinea di bagian akhirnya. Apa kaitan Diaspora Indonesia dengan kasus tersebut?. Alur pembahasan bab ini rasanya tidak berhasil menghubungkan keduanya.
Tapi buku ini jelas menawarkan bacaan yang bergizi. Mengasyikkan!. Tak ada rasa bosan membaca buku setebal 267 halaman ini. Dua kali tuntas menyimak isinya saya tetap menemukan sensasiyang sama seperti saat pertama kali membuka dan menemukan banyak kejutan di dalamnya.
Epilog.
Tahukah anda bahwa sejak Juli 2013 Kompasiana sebenarnya telah “mandiri” dan tak lagi bergantung pada kompas.com yang selama 4 tahun lebih menjadi induknya?. Lalu Kompasiana yang sedang menyiapkan diri untuk beralih ke mesin baru. Ada juga bocoran tentang sejumlah rubrik yang akan dikembangkan secara lebih mandiri seperti Wisata dan Muda yang akan berganti nama. Bocoran dan rahasia lainnya lainnya silakan temukan sendiri.
Buku ini adalah prasasti yang mengabadikan jejak perjalanan 5 tahun Kompasiana sebagai etasale warga biasa. Secara ringan namun mendalam buku ini merangkum segala cerita, cibiran dan cinta di balik kebesaran media sosial terbesar di Indonesia yang dibaca oleh 6-8 juta orang setiap minggunya dengan 1000 tulisan beredar setiap harinya.
Tak ada penuturan paling mengesankan dan tuntas dari sebuah peristiwa kecuali dari pelaku yang merancang dan mengisi jalannya peristiwa itu sendiri. Hal terbaik untuk memahami sesuatu adalah dengan menjadi bagian dari sesuatu tersebut. Jika anda sudah menjadi kompasianer, berarti anda sudah memulai untuk menjadi bagian darinya. Tapi itu tak cukup karena selanjutnya buku ini wajib dibaca oleh seluruh kompasianer untuk bisa memahami spirit dan ruh Kompasiana yang sesungguhnya. Sangat penting untuk memahami spirit dan ruh Kompasiana terutama bagi para Kompasianer yang selama ini kerap terjebak dalam silang sengketa dan pertarungan argumen tanpa henti. Buku ini akan menunjukkan apa yang sebenarnya diharapkan dari setiap Kompasianer.
Bukan hanya perlu dibaca bagi orang yang ingin belajar, mengenal dan membangun blog sosial, “Kompasiana Etalase Warga Biasa” adalah pegangan wajib bagi semua orang yang mengaku dirinya Kompasianer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H