Lihat ke Halaman Asli

Hendra Wardhana

TERVERIFIKASI

soulmateKAHITNA

Ketika Rumah Sakit Kristen Lebih Islami Dibanding Rumah Sakit Islam

Diperbarui: 29 Agustus 2024   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi rumah sakit (sumber: shutterstock via kompas.com)

Beberapa waktu lalu saya memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit swasta yang dikelola olah yayasan/lembaga Islam. 

Belum pernah saya periksa kesehatan ke sana. Kedatangan hari itu tak lepas dari rekomendasi dokter umum yang sebelumnya memeriksa saya. Sang dokter umum menyarankan saya untuk mendatangi dokter spesialis sehingga akan diketahui apakah diperlukan pemeriksaan lanjutan atau tidak.

Disebutkan olehnya beberapa dokter spesialis yang dianggapnya mumpuni. Ada yang bertugas di rumah sakit yang sama. Namun, waktu pelayanan pasiennya hanya pagi hari. Sementara di rumah sakit lain membuka praktik pada sore hari.

Saya pun memilih opsi kedua karena dari segi waktu lebih memungkinkan. Meski demikian saya perlu mendaftar secara online pada pagi hari. Mendapat nomor antrean agak besar, saya memutuskan menghubungi layanan rumah sakit. Saya meminta saran pada jam berapa sebaiknya saya datang sambil menyebutkan nomor antrean. Petugas mengatakan saya bisa datang sekitar pukul 15.30 WIB.

Pada akhirnya saya sudah tiba di rumah sakit itu pukul 15.00 WIB. Saya datang lebih awal demi memahami beberapa seluk beluk alur pelayanan pemeriksaan karena saya belum pernah datang sebelumnya. Di mana lokasi pendaftaran pasien baru, ruang tunggu pemeriksaan dan tempat pembayaran. Saya merasa perlu mengetahui tempat-tempat itu terlebih dahulu.

Setelah mengkonfirmasi ulang pendaftaran yang saya lakukan secara online dan membuat kartu pasien, saya berpindah untuk menunggu di depan ruang pemeriksaan.  

Mendekati pukul 15.30 nama saya dipanggil. Sang dokter spesialis itu ternyata usianya sudah lanjut, tapi masih jelas bicaranya. Sikapnya ramah dan agak humoris. Citra diri sebagai dokter yang bersahabat segera saya dapatkan. 

Di ruangannya ia dibantu dua perawat. Satu orang perawat selalu standby membantu sepanjang saya berkonsultasi dan diperiksa. Sementara seorang perawat lainnya ulang-alik. 

Singkat cerita semua proses berjalan lancar dan santai. Menjelang pukul 5 sore, saya sudah mengantre untuk mendapatkan obat. Dari loket penerimaan obat, saya perlu bergeser empat langkah untuk membayar semua biaya.

Kepada petugas penerima pembayaran segera saya sodorkan kartu debit bank syariah yang biasa saya gunakan untuk bertransaksi. Mengetahui saya akan membayar secara nontunai, petugas mengatakan bahwa ada biaya sebesar 2% jika saya membayar dengan kartu tersebut. Agak terkejut saya mendengarnya. Lalu saya bertanya bagaimana jika menggunakan dengan kartu debit BN*. Rupanya tetap ada biaya tambahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline