Lihat ke Halaman Asli

Hendra Wardhana

TERVERIFIKASI

soulmateKAHITNA

Soto Babat, Tetap Nikmat Walau Dicap Jahat

Diperbarui: 22 September 2021   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Soto Babat (dok.pribadi).

Setiap 100 gram jeroan, usus dan babat sapi mengandung lebih dari 120 mg kolesterol. Jumlah itu lebih banyak dari batas harian asupan kolesterol yang wajar dikonsumsi.

Informasi atau pemberitahuan di atas sudah seperti pengetahuan umum. Banyak orang mengetahuinya layaknya kita menganggap kolesterol sebagai zat jahat penyebab banyak penyakit.

Walau demikian "disclaimer" tentang babat dan kolesterol agaknya tidak terlalu menakutkan bagi penikmatnya. Mungkin karena lidah manusia hanya mencecap rasa enak atau tidak enak. Lidah tidak mendeteksi sisi jahat suatu makanan. Lagipula jahat atau tidak, selagi terasa nikmat maka artinya "silakan lanjutkan mengunyah". Bukankah demikian?

Nyatanya memang demikian. Makanan yang menggunakan babat dan jeroan sebagai isian justru banyak penikmatnya di Indonesia. Bahkan, untuk menu tertentu harga olahan babat setara ataumalah lebih mahal dibanding menu sejenis yang menggunakan daging.

Padahal, secara logis babat yang sering dianggap sebagai "bahan sisa" atau "jaringan menjijikan" karena wujudnya kurang menarik dan berbau tidak akan menggugah selera. Tidak mungkin cita rasanya menyaingi kenikmatan olahan daging.

Potongan babat dalam soto (dok. pribadi).

Namun, keajaiban dapur orang Indonesia dan sentuhan ajaib bumbu-bumbu nusantara ternyata bisa menyulap babat menjadi sesuatu yang nikmat. Begitu nikmatnya sehingga kandungan kolesterol di dalamnya seolah tidak dianggap lagi sebagai sesuatu yang jahat.

Saya termasuk penikmat babat. Dengan catatan sudah diolah sampai tidak berbau lagi.

Olahan babat yang saya senangi ialah soso babat. Memang tidak tidak terlalu sering saya menyantapnya. Walau demikian pada setiap kesempatan menjumpai soto babat, saya selalu punya selera terhadapnya. Sebab saya memang penyuka soto. Semangkuk soto hampir tak pernah gagal memancing nafsu makan saya.

Khusus soto babat ada alasan subyektif tersendiri yang membuat saya bisa menikmatinya. Sampai detik ini saya tidak menyukai jeroan sapi dan kambing yang berupa usus, paru, dan hati. Akan tetapi dengan babat lain cerita. Babat bisa diterima dengan baik oleh lidah saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline