Seminggu terakhir kita disuguhi parade penegakan hukum yang jarang terjadi di Indonesia. Dari lurah sampai gubernur diperiksa polisi secara maraton selama berjam-jam.
Dua kapolda kehilangan jabatan dan jajaran di bawahnya terkena perombakan. Sejumlah pejabat ikut terseret. Sementara yang lainnya bergantian tampil di media seolah memperlihatkan keberanian.
Agak luar biasa mengetahui bahwa semuanya dipicu hanya oleh satu orang dengan satu rentetan peristiwa yang dimulai pada 10 November. Bagaimana bisa satu orang dengan acara hajatannya di Petamburan sanggup memantik parade penegakan hukum? Faktanya memang demikian.
Langkah penegakan hukum tersebut layak diapresiasi. Masyarakat mendukung upaya negara dan aparat yang kali ini tidak tinggal diam di hadapan kelompok-kelompok yang memiliki passion keonaran dan merongrong keutuhan negara. Paling tidak itu memperlihatkan bahwa kita masih memiliki perangkat-perangkat penjaga dan pelindung yang berfungsi saat dibutuhkan.
Namun, layak pula sebuah pertanyaan kritis diajukan: Mengapa baru sekarang?
Bukankah dari awal pandemi kita telah memilki seribu kata-kata dalam setumpuk protokol kesehatan yang disusun mulai dari level pusat hingga kelurahan?
Bukankah sejak awal pandemi sudah ada dua maklumat Kapolri tentang penegakan ketertiban dan pelarangan kerumunan? Meski satu di antara dua maklumat itu telah dicabut, tapi fungsi penegakan aturan tetap melekat pada aparat.
Bukankah saat meluncurkan "new normal" di stasiun MRT dan di sebuah mall, Presiden mengatakan bahwa aparat akan dikerahkan lebih masif untuk menertibkan masyarakat?Dan bukankah sudah berulang kali kita mendengar pejabat-pejabat berpidato soal protokol kesehatan yang katanya menjadi harga mati dan tak bisa ditawar?
Ke mana semua itu?
Barangkali benar penilaian bahwa Indonesia selalu juara satu dalam hal membuat aturan, tapi selalu juga berada di peringkat bawah soal implementasinya.