Lihat ke Halaman Asli

Hendra Wardhana

TERVERIFIKASI

soulmateKAHITNA

Indonesia "Los Dol", 7 Bulan Pandemi Tanpa Langkah Strategis yang Berhasil

Diperbarui: 8 September 2020   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejumlah petugas memakamkan jenazah korban Covid-19 di DKI Jakarta (foto: AFP/Bay Ismoyo).

Pandemi Covid-19 di Indonesia memasuki angka tujuh bulan. Dalam tradisi Jawa tujuh bulan perlu dirayakan dan disyukuri.

Misalnya, masyarakat Jawa mengenal "mitoni" yang asal katanya "pitu" artinya "tujuh", sebagai ritual wujud syukur atas semakin dekatnya hari kelahiran bayi. Dengan demikian angka "7" dianggap sakral. Tujuh dimaknai sebagai simbol keberuntungan, pembawa harapan, dan kebahagiaan.

Begitu pula sebenarnya usia 7 bulan pandemi Covid-19 saat ini. Kita mestinya bisa melihat tanda-tanda harapan mengingat sudah banyak sumber daya diperas, waktu dihabiskan, tenaga dikeluarkan, biaya digelontorkan, dan nyawa dikorbankan. 

Mestinya angka tujuh menjadi titik balik harapan bahwa perang melawan pandemi bisa segera diakhiri dengan kemenangan yang kemudian dirayakan penuh syukur.

Sayangnya, angka tujuh kali ini bukan tentang sesuatu yang membahagiakan. Selama 7 bulan belum ada tanda-tanda yang lebih baik tentang pandemi di Indonesia.

Kecenderungan pemerintah dan otoritas kesehatan terkait Covid-19 yang membanggakan angka-angka kesembuhan sebenarnya bukan kabar baik. 

Meski untuk setiap pasien yang sembuh dan untuk setiap nyawa yang berhasil diselamatkan kita perlu bersyukur, tapi hal itu hanya semakin menambah jelas bahwa paradigma "menyembuhkan sebanyak-banyaknya" lebih dipilih oleh Indonesia dibanding"mencegah semaksimal mungkin".

Tak sulit menebak paradigma yang sifatnya reaktif-kuratif tersebut. Tidak adanya karantina wilayah, PSBB yang setengah hati, kebijakan yang tidak saling selaras, dan aturan yang lemah dengan dalih mencegah kerusakan ekonomi menandakan bahwa sejak awal Indonesia mengandalkan paradigma "menyembuhkan".

Paradigma tersebut telah memicu lahirnya beberapa kebijakan yang kontradiktif dan tak produktif. Ambil contoh, bukannya mengoptimalkan dukungan untuk penanganan kesehatan pada masa awal pandemi, pemerintah justru pertama-tama menggelontorkan dana untuk kampanye program yang sifatnya elitis.

Misalnya, sayembara konsep "new normal". Belakangan istilah new normal diakui oleh pemerintah sebagai kekeliruan. Namun, kekeliruan yang paling fatal ialah fakta bahwa daerah-daerah pemenang sayembara "new normal" justru menjadi daerah yang saat ini kedodoran mengatasi penyebaran pandemi di wilayahnya.

Klaim bahwa penyelamatan ekonomi dan kesehatan akan berlangsung secara paralel gugur dengan sendirinya melalui data dan fakta yang hari ini bisa kita simak bersama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline